Murnilah orang yang tidak mencari kekuasaan dan kekayaan. Lebih murni lagi orang yang punya kekuasaan dan kekayaan tetapi tidak korupsi. Mulialah orang yang tidak tahu bagaimana caranya memainkan siasat. Lebih mulia lagi orang yang mengerti siasat tetapi menolak untuk menggunakannya. – Vegetable Roots (abad ke-6) “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat jasa-jasa para pahlawannya.” Begitulah kutipan yang sering kita dengar. Namun harus diakui, bangsa kita sedang terjangkit penyakit ‘lupa’. Mudah bagi kita mengingat pejabat yang wara-wiri di media, atau kejadian kemarin sore. Namun peristiwa puluhan tahun lalu? Apalagi tak ada di buku wajib anak sekolah? Dijamin jawabannya tidak. Hal serupa saya alami ketika seorang sahabat menyodorkan buku coklat bertuliskan “Politik Bermartabat Biografi I.J. Kasimo”. Saya terdiam beberapa saat. Bukannya tidak tahu terima kasih, tetapi sedang mengingat-ingat siapakah gerangan I.J. Kasimo ini hingga dibuatkan biografinya? Orang macam apakah dia? Barangkali saya adalah bukti kerdilnya daya ingat pemuda masa kini, yang sebagian besar memorinya dijejali hal-hal lain. Barangkali saya termasuk mereka yang ‘kering’ ke-Indonesiaannya, sehingga wajah “bapak sendiri” tidak tahu. Saya jujur akui itu. Dengan semangat dan hati malu karena kerdilnya ke-Indonesiaan saya, buku itu saya lahap. Benar saja, saya tergagap-gagap menyaksikan sosok I.J. Kasimo dalam jas putih, kain batik, dan udheng dengan bahasa Belanda terpelajar berdebat di halaman sekolah Xaverius Muntilan. Saya terperanjat menyaksikan I.J. Kasimo dalam jajaran tokoh-tokoh sekelas Soekarno. Aha! Dia bukan bumiputera biasa. Aha! Dia bukan orang Katolik biasa. Dilahirkan di Yogyakarta, 10 April 1900, dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem, Kasimo adalah anak keempat dari sebelas bersaudara. Ronosentiko adalah prajurit yang mengabdi di Keraton Kesultanan Yogyakarta, sedangkan Dalikem berjualan di pasar. Meski mereka dianggap priyayi, namun kehidupan mereka jauh dari definisi mewah dan berlimpah harta. Kehidupan semacam itu mengukuhkan ungakapan, “dadi priyayi kuwi garang ning garing” artinya “menjadi priyayi itu bergengsi tetapi miskin”. Dengan situasi yang priyayi namun miskin itulah, Kasimo tumbuh sebagai anak yang jarang bermain karena harinya dihabiskan antara membantu ibu, membantu kakek dan nenek lalu sekolah. Hal ini berlanjut hingga ia berjumpa dengan Romo Franciscus van Lith SJ yang mengajaknya melanjutkan sekolah di Muntilan. Sekolah ini adalah sekolah guru swasta yang diakui gubermen, sehingga lulusannya bisa dipekerjakan di lingkungan gubermen. Tanpa pikir panjang, Kasimo yang saat itu berumur dua belas tahun pamit pada ayah dan ibunya dan melanjutkan sekolah di Muntilan. Tanpa biaya, hidup berkecukupan, tidak perlu banting tulang membantu ibu, kakek dan nenek, ia hanya fokus sekolah. Di Muntilanlah kuncup-kuncup kecintaannya pada Indonesia tumbuh dan semakin lebat. Ia mengasah diri dengan membaca dan menajamkan diri dengan mengikuti klub diskusi. Ia belajar menyusun argumen logis dan menyampaikannya dengan jernih pada lawan bicaranya. Ia belajar menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan). Di Muntilan pula sikap hidup jujur, disiplin, dan sederhana namun berfaedah bagi sesama kelak akan sangat mendominasi karakter Kasimo. Di Muntilan pula ia berkarib dengan R.M. Djajoes (kelak menjadi Mgr. Adrianus Djajasepoetra, Uskup Jakarta, 1954-1970) yang duduk di kelas VI dan dengan Soegija (kelak menjadi Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Semarang, 1940-1964) pahlawan nasional yang saat itu duduk di kelas V. Lepas dari Muntilan ia pindah ke Bogor. Ia masuk sekolah pertanian di Bogor. Di kota ini ia pertama kali berhadapan dengan orang Belanda yang karakternya bumi dan langit dengan van Lith, sehingga Kasimo melawan si Belanda sok tuan besar itu. Alhasil ia dipindah ke Tegalgondo Kartasura untuk mengajar di sana. Karena kepala sekolahnya temannya sendiri maka tidak ada masalah besar ia pindah ke Tegalgondo. Pada bulan Agustus 1923 Kasimo bersama beberapa teman yang pernah sekolah di Kweekschool Muntilan yaitu CI. Soepardjo dan R.M. Jakob Soedjadi mendirikan Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Inilah perjuangan awal Kasimo di bidang politik. Hal ini tidak lepas dari kiprah Pater Jan van Rijckevorsel yang pada tahun 1909-1925 berkarya di Jakarta. Ia mengajak orang-orang Jawa untuk berorganisasi dan tidak terlena dengan kehidupan beragama yang terbatas sekitar altar, doa, dan ibadah. Biografi Kasimo ini agaknya mencoba menjelaskan argumentasi yang melatarbelakangi Kasimo dan teman-temannya, serta Pater Jan terjun dalam dunia politik, [D]alam keyakinan Katolik keterlibatan dalam dunia itu bukan sesuatu yang bersifat pilihan (opsional), tetapi imperatif, karena Tuhan sendiri peduli pada nasib manusia. Keterlibatan-Nya dalam sejarah manusia dimulai dengan kelahiran-Nya sebagai bayi yang tunawisma dilanjutkan dengan hidupnya sebagai seorang pembaru yang dianggap heretik, dan diakhiri dengan kematian-Nya sebagai seorang kriminal. Betapapun revolusionernya pembaruan yang diajarkan-Nya, Yesus bukan seorang yang menghendaki suatu “revolusi sosial”, berupa penjungkirbalikan struktur sosial masa itu, karena Yesus dalam ajaran-Nya menolak hukum-hukum revolusi. Dalam sebuah revolusi harus jelas perbedaan antara kawan yang harus dibela dan lawan yang harus disingkirkan, tetapi Yesus mengajari orang untuk mencintai musuh-musuh mereka. Pada Juli 1930, Kasimo diangkat menjadi anggota Volksraad atau dewan rakyat, yang dibentuk pada 16 Desember 1916 dan awalnya lembaga ini berperan sebagai penasihat. Namun sejak 1927, Volksraad memiliki kewenangan kolegislatif bersama gubernur jenderal yang ditunjuk Belanda. Padahal gubernur jenderal memiliki veto yang membuat kewenangan Volksraad makin terbatas. Dengan menjadi anggota Volksraad, setiap bersidang ia naik kereta ke Jakarta. Kelak sampai ia menikah dan sudah punya anak, rutinitas ini terus berlanjut. Pada19 Juli 1932, Kasimo berpidato di rapat Volksraad yang kemudian mengundang perdebatan dalam sidang: “Tuan Ketua! Dengan ini saya mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa, dan karena itu berhak memperjuangkan pengaturan negara sendiri sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan bangsa sesuai dengan kebutuhan nasional yaitu sesempurna mungkin. Ini berarti bahwa negeri Belanda sebagai negara berbudaya yang terpanggil mempunyai kewajiban untuk ikut mengembangkan seluruh rakyat, dan khususnya sebagai negara penjajah, mempunyai kewajiban untuk membimbing dan merampungkan pendidikan rakyat sehingga dengan demikian dapat dicapai kesejahteraan rakyat Indonesia, untuk kemudian dapat diberikan hak untuk mengatur dan akhirnya memerintah negara sendiri.” Pidato ini semakin mengukuhkan karakter Kasimo, sederhana namun jujur dan terlebih lagi berani. Ia juga pernah merasakan diangkut Jepang dan diperlakukan tidak manusiawi selama 53 hari. Kejadian ini menyebabkan ia mengambil keputusan yang sangat revolusioner: Kasimo membenarkan revolusi Indonesia. Ia juga memutuskan bahwa golongan Katolik Indonesia wajib ikut berjuang, bahkan jika perlu berkorban bagi revolusi. Pada tahun 1948, di tengah kondisi bangsa yang kekurangan pangan, Kasimo melahirkan “Kasimo Plan”. Semacam rencana swasembada pangan untuk produksi tiga tahun (1948-1950) sederhana,
Stop Bullying!
“Satu hal yang tidak tunduk oleh aturan mayoritas adalah nurani seseorang.” – Harper Lee, To Kill a Mockingbird “Akan selalu kuingat, dan tak akan pernah kulupa, Senin: uangku diambil, Selasa: namaku diolok-olok, Rabu: seragamku dirobek-robek, Kamis: tubuhku bersimbah darah, Jumat: semua berakhir, Sabtu: kebebasan.” Akhir lembaran buku harian Vijay Singh, 13 tahun. Ia ditemukan menggantung diri pada pegangan tangga di rumah pada hari Minggu. Membaca awal dari pengantar buku karya Barbara Coloroso ini, membuat saya bergidik dan miris. Membayangkan jika hal itu menimpa anak saya. Ini baru di awal kata pengantarnya. Berikut tiga kisah nyata dari sekian banyak peristiwa tercatat dalam Pengantar yang berakhir dengan tragis. 14 November 1997; Victoria, British Columbia: Reena Virk, 14 tahun, tewas setelah dijadikan bulan-bulannan oleh rekan-rekan sekolahnya. Ia diserang dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Tangan, leher, dan punggung Reena dipatahkan dengan sengaja sebelum akhirnya ia dibuang ke jurang. November 2001; Tokyo, Jepang: Seorang siswa laki-laki SD menikam penyiksanya dalam sebuah upaya untuk mengakhiri ijime (penindasan). 7 Maret 2001; Williamsport, Pennsylvania: Elizabeth Bush, seorang siswa kelas 2 SMP yang berusia 14 tahun, membawa senjata ayahnya ke sekolah dan menembaki serta melukai seorang teman yang dituduh mengkhianati dan telah bergabung dengan para penyiksanya yang kerap memanggilnya idiot, bodoh, gemuk dan jelek. Rentetan peristiwa di atas memang terjadi di luar negeri, namun coba kita simak beberapa peristiwa berikut ini. Pertengahan Agustus 2007; Pondok Labu, Jakarta Selatan: Muhammad Fadhil, 16 tahun, siswa SMA 34 ini jadi korban kekerasan oleh geng Gazper. April 2007; SMU Pangudi Luhur: Blastius Adisaputro, 17 tahun, babak belur karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh seniornya. 28 November 2006; Cijantung, Jakarta Timur: Bobi, 9 tahun, siswa SD Islam Sudirman ini mengalami luka-luka pada mulutnya akibat dilakban oleh gurunya hanya karena sering bercanda di kelas. 28 Juli 2004; Semarang: Muhlisin, seorang taruna semester III SMK Pelayaran, dipukuli oleh seniornya gara-gara tak melapor saat absen. Februari 2008; Jakarta: Sri Pratiwi, siswi SMPN 282 Jakarta, digampar guru Bahasa Inggris karena dianggap tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Dan mungkin masih banyak segudang catatan kelam lainnya yang bisa kita telusuri menambah daftar di atas. Faktanya, sekolah seakan bukan lagi hal yang menyenangkan. Dunia anak-anak seakan penuh ancaman dan tekanan. Bahkan menurut Coloroso, penindas, pihak yang tertindas dan penontonnya adalah tiga karakter dalam sebuah drama tragis yang dimainkan di rumah, sekolah, taman bermain, dan jalan-jalan. Sebuah drama banyak versi dengan tema tragis yang itu-itu saja, dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda, mengenakan kostum yang berbeda-beda, menyitir baris kalimat yang berbeda-beda. Barbara Coloroso, melalui bukunya “Stop Bullying!” yang diterjemahkan oleh penerbit Serambi, dengan gamblang memaparkan dari sisi psikologis dan praktis bagaimana kita (para guru dan orang tua khususnya), menyikapi anak-anak yang berperan sebagai penindas, tertindas dan penonton. Penulis, berdasarkan pengalamannya, memaparkan: Tiga jenis penindasan Perbedaan antara penindasan anak laki-laki dan anak perempuan Empat kemampuan yang menghindarkan anak Anda dari status “korban penindasan” Tujuh langkah solusi bila anak Anda seorang penindas Cara membantu menyembuhkan anak tertindas dan mendisiplinkan anak penindas Cara mengevaluasi “kebijakan-antipenindasan” sekolah dan kebijakan anti perilaku menyimpang lainnya Menarik dalam Bab ‘Dari Penonton Menjadi Saksi’ dikutip sebuah kisah heroik yang dilakukan Vishing Rathod, seorang Hindu di Ahmadabad, India. Menjadi penonton, biasanya adalah peran yang paling sering kita minati dengan berbagai alasan. Padahal tidak ada penonton – dalam kasus penindas dan tertindas – yang tidak bersalah. Rathod tidak tega mendengar jeritan tetangga-tetangga Muslimnya yang dipukuli dan dibakar hidup-hidup. Bersama kedua puteranya, mereka melompat ke atas sebuah truk, tersuruk-suruk mencari jalan untuk melewati para perusuh Hindu yang mengamuk, dan mulai menarik para Muslim dari bara api. Pada malam itu ia menyelamatkan 25 umat Muslim dan sejak itu menginapkan lusinan lainnya dalam rumah-rumah perlindungan di sepanjang Ahmadabad, yang telah ditelan oleh kekerasan Hindu-Muslim yang menewaskan 544 jiwa. Ia mengangkat bahu ketika ditanyai apakah ia seorang pahlawan. “Saya melakukannya demi kemanusiaan, karena dalam hati saya tahu itulah hal yang benar untuk dilakukan.” Tentu saja, dengan membaca buku ini, para orang tua (dan guru) pun harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap kebiasaan memperlakukan anak-anaknya. Jangan-jangan kita sedang membentuk mereka memainkan peran dan karakter penindas, yang tertindas dan menjadi penonton! Judul buku: Stop Bullying! Penulis: Barbara Coloroso Penerbit: Serambi ISBN: 979-16-0111-9 Halaman: 392 hal. Ukuran: 13 x 20 cm Terbit: Juni 2006
The Little Prince
Jika ditanya, “Buku apa yang sebaiknya saya baca?” Oleh orang lain, baik ia orang yang suka membaca atau tidak. Maka buku inilah yang pertama yang akan saya anjurkan, bahkan untuk orang yang sudah membacanya. Ya, buku itu sebegitu bagusnya sehingga saya memutuskan untuk, juga, mengupas buku ini sebagai resensi di FOKAL.info. Sulit untuk mengkategorikan buku ini, kita bisa masukkan dia ke dalam buku anak-anak namun tidak salah juga untuk memasukkannya ke dalam kategori dewasa. Kategori anak-anak karena bercerita dengan sangat sederhana dan jumlah tokoh yang sangat sedikit. Namun begitu banyak lapisan dari buku ini yang hanya bisa dimengerti pikiran dewasa. Jika pernah membacanya ketika masih kecil, saya sangat anjurkan untuk membaca ulang sekarang dan lihatlah betapa banyak lapisan baru yang bisa kita temukan di dalamnya. Untuk yang belum pernah membacanya, biarlah saya menceritakan sedikit tentang buku ini. Ada dua tokoh utama di buku ini: Sang Pangeran dan Si Pilot. Mereka bertemu di Gurun Sahara ketika Si Pilot terdampar di sana dengan bekal air minum untuk satu minggu. Keseluruhan buku ini adalah dialog dari mereka berdua, atau lebih tepatnya usaha Si Pilot untuk mengerti tentang Sang Pangeran Kecil yang berasal bukan dari bumi ini. Melalui dua tokoh utama ini Antoine de Saint-Exupéry, pengarang buku ini, mengkritik dunia orang dewasa, terutama di dalam kisah perjalanan Sang Pangeran untuk sampai ke bumi ini. Dan menurut saya, melalui mulut dan kisah Sang Pangeran juga si pengarang bercerita secara implisit tentang diri dan hidupnya sendiri, serta tentang pandangan hidupnya. Kritik-kritik ini diceritakan dengan menarik dari sudut pandang kepolosan seorang anak. Suatu sifat yang mungkin menurut kita orang dewasa sebagai hal yang tidak berguna dan cenderung kita lupakan. Namun kita lupa bahwa kepolosan ini yang membuat kita mempunyai imajinasi yang sering kali hilang dari dalam diri kita yang sudah dewasa ini. Dan itu juga rasanya syarat utama untuk menikmati buku ini: imajinasi, kreativitas. Dengan membuang segala ketidakmungkinan yang muncul dalam otak kita sebagai orang dewasa ketika membaca cerita demi cerita di dalamnya, baru kita bisa menemukan lapisan baru. Sebuah pengertian baru, momen pencerahan yang polos dan sederhana, yang biasa kita lihat di dalam diri anak kecil ketika melihat pelangi. Betapapun sederhananya fenomena pelangi itu dapat dijelaskan sebagai fenomena ilmu pasti dalam pikiran orang dewasa. Sebagai catatan tambahan: resensi ini saya buat berdasarkan pengalaman saya membaca versi terjemahan bahasa Inggris, sehingga saya tidak tahu persis bagaimana pengalaman membaca buku ini dalam saduran bahasa Indonesia. **BDL Judul Buku: Pangeran Kecil – The Little Prince Pengarang: Antoine de Saint-Exupery Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku: 112 Halaman
Untuk Indonesia yang Kuat, 100 Langkah untuk Tidak Miskin
Banyak cara berkontribusi bagi kemajuan dan keutuhan negeri ini. Ternyata salah satunya adalah dengan tidak miskin. Jangan mencibir atau mengerutkan kening dulu. Istilah tidak miskin itu sebenarnya menggambarkan kondisi keuangan yang terencana dengan baik, sehingga mampu memberikan keamanan finansial hingga hari tua. Kondisi keuangan yang sehat ini akan memampukan kita, bagian dari masyarakat Indonesia, untuk menjaga daya beli bangsa, berinvestasi di negeri sendiri, serta menolong sesama yang belum seberuntung kita dalam hal keuangan. Secara umum, itulah alasan Ligwina Hananto menulis buku ini. Sebagai seorang yang ahli di bidang keuangan, khususnya konsultasi keuangan pribadi. Berapa banyak dari kita yang mengerti apa tujuan menghasilkan dan (mungkin) menyimpan uang setiap bulan? Pernahkah kita mendengar keluhan di tengah keluarga besar kita mengenai biaya pendidikan yang terus meninggi? Berapa banyak dari kita yang berpikir untuk menginvestasikan uang? Lalu, pernahkah anda dan saya, atau keluarga kita merasa terbebani dengan keluarga besar atau tetangga yang harus meminjam uang dalam jumlah besar? Ligwina menjelaskan dengan cara yang tidak sulit dimengerti apa saja yang harus diketahui mengenai pengelolaan serta tujuan mengelola uang. Ia menantang pandangan umum kita tentang menabung, menjelaskan langkah membuat rencana keuangan, memulai investasi, hingga mencapai kebebasan finansial. Semua untuk satu tujuan: Indonesia yang lebih kuat. Yang menarik dari buku ini, paparan Ligwina mengenai pengelolaan keuangan yang terasa “sangat Indonesia”. Buku keuangan mana yang dalam pengelolaan keuangan pribadi mempertimbangkan kebiasaan masyarakat Indonesia saling menolong family dalam hal keuangan? Tidak cukup jika hanya satu orang saja yang mengelola keuangan pribadinya dengan baik. Dibutuhkan partisipasi dari banyak orang, termasuk kita, kaum muda yang mulai memiliki penghasilan sendiri, untuk menjaga dan memperkuat Indonesia dari sisi keuangan. Tidak perlu khawatir bahwa mengelola keuangan itu sulit. Fokus pada tujuan besar kita, dan mengutip kata-kata Ligwina Hananto dalam bukunya ini, “Kalau sulit, ya belajar!” **ERS