Kuliner Jepang punya seni mengolah ikan mentah. Menu sashimi dan sushi tentu banyak dikenal oleh para pecinta makanan. Kedua menu itu biasanya mengambil ikan laut yang segar, disajikan mentah, hanya dengan bumbu kecap, wasabi atau jahe. Bila sashimi hanya memakai ikan mentah, pada sushi, ikan itu menempel di nasi khas Jepang, yang biasanya sudah direndam atau terfermentasi. Namun, mengolah ikan tanpa api bukan hanya monopoli orang Jepang. Beberapa kuliner khas dari Indonesia berikut ini juga tak kalah lezat dalam meracik ikan mentah. Bedanya, umumnya kuliner ini menggunakan bumbu yang lebih banyak, meski tetap berusaha mempertahankan tekstur daging ikan. Naniura Sekilas tampilan makanan khas Tapanuli ini mirip dengan ikan bumbu kuning. Tapi jangan salah, rasanya jelas berbeda. Naniura dibuat dari ikan air tawar dengan penampang badan agak rata. Dulu yang cukup banyak dipakai adalah jenis ikan yang disebut Ihan Batak, sejenis ikan semah yang merupakan satwa endemik danau Toba. Namun, belakangan karena populasinya jauh berkurang, ikan mas lebih banyak dipakai sebagai bahan dasar naniura. Ikan ini dibersihkan dari sisiknya lalu direndam beberapa jam dalam belasan bumbu khas. Yang paling menonjol adalah rasa asam jungga dan andaliman, selebihnya adalah bumbu dapur lazim seperti kemiri, bawang putih, bawang merah, kunyit, lengkuas, cabai dll. Asam membuat daging ikan seolah ‘termasak’, ini sesuai arti harafiah nanirua, yaitu yang diasami. Sementara varian bumbu lainnyalah yang memberi rasa. Andaliman, yang cukup banyak dipakai memberi sensasi bergetar di bibir. Tekstur naniura mirip sashimi, namun dengan sensasi rasa yang lebih banyak. Gohu Ikan Di bagian utara Kepulauan Maluku serta utara Sulawesi, ada cara unik mengolah ikan tuna atau cakalang. Disini ikan dipotong dadu, lalu dilabur perasan asam dan garam lantas dibubuhkan daun kemanggi. Setelahnya, ikan didiamkan beberapa saat sebelum disiram dengan rajangan bawang merah dan cabai rawit yang telah ditumis dengan sedikit minyak kelapa. Rasa amis ikan sama sekali tidak kentara. Sama seperti pada naniura, rasa asam yang dibiarkan meresap ke daging ikan perlahan menghilangkan bau amisnya. Gohu ikan biasanya dimakan sebagai pendamping nasi atau bubur sagu. Harap diingat, kita harus menyebutnya lengkap sebagai “Gohu Ikan” atau “Ikan Gohu” agar dapat dibedakan dengan sayur Gohu khas Manado yang terbuat dari daun pepaya. Cara masak ini awalnya khas Pulau Bacan. Namun, karena kelezatan dan kemudahannya kini hampir seluruh wilayah bagian utara Maluku dan Sulawesi cukup familiar dengannya. Lawe Bale Sulawesi Selatan juga punya kuliner dengan ikan mentah, yaitu khas Polewali. Namun, ikan yang digunakan biasanya yang berukuran kecil, semisal ikan teri atau ikan banjar. Disini ikan kecil tadi dibersihkan lalu diberi perasan jeruk nipis, garam serta kelapa parut. Rasanya cukup segar dan cocok menjadi peneman makan nasi yang hangat. Paco Mirip dengan tetangganya di Polewali, wilayah kabupaten Luwu juga punya cara hampir mirip untuk mengolah ikan kecil tanpa memasak dengan api. Paco memakai bumbu yang lebih banyak ketimbang lawe. Selain asam dan garam, ikan teri dibumbui dengan cabai yang sudah dihaluskan. Terkadang ditambah cacahan mangga muda dan saus kacang tanah. Rasanya jadi lebih pedas dan segar. Selain memakai ikan teri, paco juga sesekali memakai udang kecil. Menu ini sangat cocok dimakan bersama roti sagu. Rusip Provinsi Bangka-Belitung juga punya cara tersendiri mengolah ikan teri mentah. Namun, menu yang bernama rusip ini butuh proses lebih lama, karena melibatkan fermentasi. Ikan teri atau disebut juga ikan bilis dibersihkan kemudian dicampur dengan gula merah dan garam. Adonan ini difermentasi selama tujuh hari. Rusip punya aroma yang agak asam, namun rasanya sangat kuat. Di Bangka-Belitung rusip biasanya dicampur dengan irisan bawang merah, cabai rawit, dan jeruk kunci kemudian dijadikan layaknya sambal dan bumbu lalapan atau dicocol dengan nasi. Nah, kalau berani coba sashimi atau susi, kenapa tidak berpetualang rasa dengan kelima makanan ikan mentah khas Nusantara tadi? **RS
Mie Tarempa dari Riuhnya Kepulauan Riau
Bisa jadi tidak banyak warga Indonesia yang kenal apa ciri yang menonjol di Kepulauan Riau (Kepri), termasuk soal kulinernya. Bagi sebagian besar orang, Kepri mungkin sekedar provinsi tempat Pulau Batam dan Bintan berada. Sentra industri, wisata dan gerbang paling dekat dengan negeri tetangga kita, Singapura. Kulinernya pun sering dikaitkan dengan ragam kuliner perkotaan yang menyajikan banyak masakan Nusantara modern serta masakan luar. Padahal, Kepri adalah titik persemaian ragam budaya yang membentuk Indonesia. Sesuai namanya yang berarti riuh dan ramai, disini sejak dulu semarak kosmopolitan niaga menyatu padu dengan keseharian masyarakat pantai. Cukup banyak tempat di provinsi yang 96% wilayahnya berupa laut ini, punya sejarah jadi pusat interaksi antar bangsa dan kaum yang memungkinkan pembauran budaya. Ambil contoh terkait perkembangan Bahasa Indonesia, misalnya. Sebagaimana diketahui, bahasa persatuan kita ini berasal dari dialek Melayu di Pulau Penyengat, Kabutapten Lingga, Kepri. Hal serupa juga terkait aksara, ajaran kegamaan, busana, musik, gaya pergaulan serta tak lupa kulinernya. Tarempa, adalah contoh sentra lainnya. Sebagai salah satu pelabuhan yang paling ramai sejak zaman kedatuan Melayu yang bercorak Buddha, wilayah di Kabupaten Anambas ini juga punya banyak jejak menampung interaksi antar bangsa. Kuliner kondang Mie Tarempa sedikit banyak bisa memperlihatkan hal tersebut. Dengan melihat mie ini tersaji di piring saja, kita langsung bisa melihat pengaruh boga Tiongkok, India, TimurTengah, serta ciri masyarakat nelayan Melayu di dalamnya. Mie Tarempa seolah paduan dari banyak versi mie. Sekilas tampilan Mie Tarempa mungkin mirip Mie Aceh. Mie yang berwarna agak coklat dicampur racikan bumbu kemerahan. Namun rasanya ternyata jauh berbeda. Bumbu Mie Tarempa tidak terlampau pedas, rasa asam manis lebih kental ketimbang pedasnya. Meski berlemak, rasanya terbilang ringan. Tekstur mie pun lebih kenyal, karena umumnya dibuat secara manual. Biasanya bentuk mie agak gepeng namun tak selebar kwetiau. Hal yang juga cukup membedakan adalah toppingnya berupa boga bahari. Yang paling sering dipakai adalah suiran ikan tongkol dengan sesekali tambahan udang dan cumi. Meski di versi modernnya kini ditambah daging ayam atau sapi. Versi paling tua dari Mie Tarempa disajikan kering. Namun, sekarang kita juga menemuinya dalam versi yang berkuah sedikit atau berkuah banyak. Meski berasal dari kelurahan Tarempa, mie ini telah jadi ciri kuliner Kepri. Banyak warung di provinsi ini, terutama di Kota Batam atau Tanjung Pinang yang menjajakannya. **RS
Sisingamangaraja XII: 29 Tahun Melawan Belanda
“Ahu Sisingamangaraja!” (Akulah Sisingamangaraja) Konon, itulah teriakan terakhir Sisingamangaraja XII saat tertembak gabungan pasukan Belanda. Dalam pertempuran terakhir yang berlangsung di pinggir sungai Aek Sibulbulon di desa Onom Hudon (sekarang perbatasan wilayah Humbang Hasundutan dan Dairi) pada Juni 1907, sang pahlawan gugur bersama putrinya Lopian serta dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Sebelumnya putra-putrinya yang lain bersama istri dan ibunya juga telah tertawan pasukan Belanda. Teriakan itu sebenarnya sangat mungkin kejadian. Sebab dalam banyak aspek perlawanan selama 29 tahun itu (1878-1907), frasa itu sering dipakai. Seruan yang sama juga hadir dalam simbol perang dan stempel yang dipakai sang raja. Seruan itu bukanlah kengototan soal gelar atau posisi, ia adalah ekspresi perlawanan yang kuat dari identitas budaya dan spiritualitas. Sisingamangaraja bukan sekedar berebut wilayah dengan Belanda, namun gigih mempertahankan tanah air, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, kemerdekaan dan kesetaraan – yang menyatu utuh sebagai identitas dan keseharian ia dan masyarakatnya. Secara jumlah pasukan, persenjataan, strategi perang dan banyak faktor teknis lain pasukan Sisingamangaraja XII nyaris tidak ada apa-apanya dibandingkan para prajurit dan tentara bayaran kolonial. Berbeda dengan Perang Aceh atau Perang Jawa, yang punya logistik serta tentara yang lebih terorganisir – Perang Batak sepenuhnya adalah gerilya dan serangan sesekali. Pulas sebagai laku spiritual Bermula dari upacara spiritual di pusat kediamannya di Bangkara, 16 Februari 1878, raja wilayah yang bernama lahir Patuan Bosar itu menyatakan pulas (perang) terhadap upaya aneksasi Belanda atas seluruh Sumatera. Tentu saja itu penyataan nekat. Pada periode itu di pulau Sumatera hanya raja-raja wilayah Tapanuli dan Kesultanan Aceh yang belum tunduk pada pemaksaan Belanda atas Perjanjian Pendek (Korte Verklaring). Namun kerajaan wilayah di Tapanuli tidaklah sesolid kesultanan Aceh. Tidak ada penguasa tunggal, hanya pemerintahan kecil di tiap huta yang tak satu sikap atas pendudukan dan monopoli perdagangan Belanda. Bahkan beberapa huta sudah langsung menyambut pemerintahan kolonial. Biar bagaimanapun, Sisingamangaraja XII tetap menyerang pos pendudukan Belanda di Bahal Batu, memaksa Belanda menambah jumlah pasukannya, lalu berbalik menyerang Bangkara dan seluruh wilayah sekitar. Sisingamangaraja memilih menyingkir, bergerilya sambil mengonsolidasikan kekuatan. Ia bersekutu dengan kesultanan Aceh dan penguasa wilayah di sekitar Gayo, Alas, Singkil, serta sebagian wilayah Melayu. Serangan berikutnya dilakukan sepuluh tahun kemudian. Sempat sangat menyulitkan Belanda karena di waktu yang sama juga tengah menghadapi peperangan besar dengan kesultanan Aceh. Tahun 1889, pejuang-pejuang Batak bahkan merebut beberapa huta di wilayah Lobu Talu, Tamba dan Horian. Kembali memaksa Belanda mendatangkan pasukan tambahan dari Padang. Kecil-kecil namun merepotkan, itulah kesusahan Belanda menghadapi perlawanan yang digelorakan Sisingamangaraja dari hutan-hutan Tapanuli selama 29 tahun. Puncaknya, tentara sewaan dari Senegal dan elit korps Marsose harus ditugaskan khusus untuk memburu raja kelahiran 18 Februari 1845 ini. Sebelum habis-habisan mengejar sang pemimpin perang, Belanda pernah menawarkan jalan damai dengan meminta Sisingamangaraja berhenti melawan dengan imbalan menobatkannya sebagai Sultan atas seluruh wilayah ‘Batak’. Tentu saja ini taktik demi memudahkan kontrol atas wilayah Tapanuli yang egaliter dari segi pemerintahan wilayah. Tawaran itu jelas ditolak, karena bagi sang raja perang ini bukan soal tahta – tapi laku spiritual. Sisingamangaraja kemungkinan sudah tahu sangat sulit untuk mengalahkan Belanda. Tapi ia tetap melawan dan menentang. Baginya perlawanan adalah sikap menjaga martabat. Ia akan terus berusaha hidup, menyerang, lalu menghindar untuk menyerang kembali. Sikap itu harus dibayar mahal. Berjuang di pedalaman selama puluhan tahun, kehilangan nyaris semua anggota keluarga dan prajurit terbaiknya – ia tetap memekik: Akulah Sisingamangaraja. Perlawananku akan terus hidup. **RS
Jokowi: Kita Butuh 9 Juta Talenta Digital
“Untuk melakukan transformasi digital, negara kita membutuhkan talenta digital kurang lebih 9 juta orang untuk 15 tahun ke depan. Ini perlu betul-betul sebuah persiapan.” Presiden Joko Widodo mengungkapkan hal tersebut saat membuka rapat terbatas Perencanaan Transformasi Digital, Senin (3/8). Menurutnya, masa pandemi ini telah mengubah secara struktural, cara kita bekerja, beraktivitas, konsumsi, belajar hingga bertransaksi. Untuk itu diperlukan sekian banyak talenta digital di berbagai bidang demi menyongsong dan mendorong transformasi digital. Penyediaan talenta dalam jumlah besar, merupakan satu dari empat langkah yang disebutkan presiden sebagai strategi meningkatkan daya saing digital. Hal lain yang paling genting adalah mempercepat akses digital dan meningkatkan infrastruktur, termasuk layanan internet tiap daerah serta titik pelayanan publik di Indonesia. Selain itu diperlukan kolaborasi agar bisa mematangkan peta jalan transformasi digital pada seluruh sektor strategis. Sektor-sektor tersebut meliputi pemerintahan, sosial, layanan publik, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, dan sektor penyiaran atau media. Yang tak kalah penting setelah pemetaannya jelas adalah mempercepat integrasi pusat data nasional. Lalu untuk mengisinya tentu diperlukan penyediaan sumber daya manusia atau talenta digital. Serta perlunya menyederhanakan regulasi serta skema pendanaan bagi industri digital dan seluruh sektor yang menjalankan transformasi digital. Saat ini, daya saing digital Indonesia terlihat masih kalah dari negara tetangga di Asia Tenggara. Hal ini terindikasi dari data International Institute for Management Development (IMD) terkait World Digital Competitiveness. Dimana ranking daya saing Indonesia di sektor digital dunia pada tahun 2019 ada di peringkat 56 dari 63 negara. “Ini memang kita di bawah sekali. Lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga kita di ASEAN. Misalnya Thailand di posisi 40, Malaysia 26, Singapura nomor 2,” ujar Jokowi. Dalam konteks penyediaan talenta digital, target ini berarti Indonesia harus mempersiapkan paling tidak sekitar 600.000 talenta digital yang mumpuni setiap tahunnya. Presiden yakin, meski pandemi telah banyak mengganggu kinerja ekonomi dan banyak aspek lain, hal ini juga membawa berkah lain semakin mendorong banyak orang untuk siap menyongsong era transformasi digital. **RS
Cerita Tempe: Makanan Penyelamat Asli Indonesia
Pieter Anton Roelfosen adalah satu dari sekian banyak warga Belanda yang menjadi tahanan perang di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia dan sejumlah rekannya ditahan di penjara Cipinang, Jakarta, sejak tahun 1942. Situasi pada masa itu jelas tidak mengenakkan buat mereka. Jepang yang sedang sibuk jelang akhir Perang Dunia II, hampir tidak menghiraukan nasib para tahanan. Kekurangan ransum makanan, menyebarnya penyakit, serta minimnya fasilitas kesehatan adalah kenyataan keseharian yang dihadapi tiap tahanan tadi. Beruntung, Roelfosen memperoleh produk penyelamat. Ia berhasil meniru teknik fermentasi kedelai menjadi tempe dari penduduk pribumi. Dengan jumlah kedelai dan ragi seadanya, mereka bisa beroleh asupan gizi yang setidaknya memampukan diri bertahan hidup. Saat kembali ke Belanda, Roelfosen kemudian mempublikasikan teknik tersebut dalam jurnal teknologi pangan pada tahun 1964. Inilah yang kemudian memperkenalkan tempe ke publik Belanda. Makanan ini kemudian populer di kalangan imigran asal Jawa, juga warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Perlahan, tempe semakin populer di Eropa bahkan mencapai Britania Raya dan Amerika Serikat. Negara-negara Asia Timur, terutama Jepang pun mulai menggemari tempe, selepas 1980-an. Meski kedelai bukan tanaman endemik Nusantara, namun teknik pengolahannya menjadi tempe boleh dikatakan teknologi asli bangsa ini. Nenek moyang kita baru mengenal budidaya kedelai setelah diperkenalkan oleh pedagang India dan Tiongkok. Akan tetapi, di wilayah-wilayah asal kedelai ini tidak ada teknik fermentasi seperti pada tempe. Tempe sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat Suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam manuskrip Serat Centhini, misalnya, digambarkan masyarakat Jawa abad ke-16 telah mengenal tempe sebagai salah satu makanan yang biasa dikonsumsi. Catatan sejarah lain menunjukkan kemungkinan, awalnya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16. Sampai saat ini kebanyakan tempe masih diolah dengan teknik tradisional Indonesia yang secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi. Modifikasi teknik baru dilakukan terkait higienitas pembungkus, juga proses pengasaman. Sebab di negara-negara sub-tropis umumnya kedelai yang direndam tidak langsung menjadi masam. Demikian pula perkembangan jamur raginya tidak semudah di wilayah tropis. Yang jelas, tempe yang pernah menjadi penyelamat dari bahaya kelaparan itu, kini makin mendunia. **RS
Gol Tangan Tuhan: Drama yang Tak Mungkin Terulang
“Gol itu terjadi sebagian karena kepala Maradona, sebagian lagi karena tangan Tuhan.” Demikian Diego Maradona berkomentar seusai pertandingan perempat final Piala Duni 1986 antara Argentina melawan Inggris. Kalimat bersayap itu mengindikasikan sejak awal sang dewa sepak bola memang mengakui kalau ia mencetak gol dengan tangannya. Meski pengakuan eksplisit baru ia sampaikan belasan tahun kemudian. Pertandingan yang berlangsung tepat 34 tahun lalu, 22 Juni 1986, memang menjadi salah satu drama terbesar di dunia sepak bola. Terlalu banyak cerita yang membumbui terjadi langsung di laga ini. Bumbu Sebelum Pertandingan Bumbu pertama tentu saja, perseteruan Inggris dan Argentina di dunia sepak bola bermula sejak 20 tahun sebelumnya, saat si putih biru langit dikandaskan Inggris di perempat final Piala Dunia 1966. Waktu itu, pemain Argentina menilai wasit yang mempimpin pertandingan, Rudolf Kreitlein, asal Jerman cenderung bias dan berpihak pada Inggris, sang tuan rumah. Protes dan kecaman itu memicu kemarahan manajer timnas Inggris, Alf Ramsey. Ia menyebut skuad Argentina bertingkah seperti hewan. Komentar yang kemudian dianggap rasialis dan sangat menyakitkan fans Argentina. Yang kedua adalah bumbu berbalut politik. Argentina dan Inggris terlibat bentrok senjata dalam perebutan Kepulauan Falkland atau Malvinas pada 1982. Argentina kalah dalam bentrok militer ini, namun menyisakan dendam mendalam pada Inggris. Dengan sentimen-sentiman tadi, pertandingan yang berlangsung di Estadio Azteca, Mexico City ini pun jadi panas. Ada semangat ‘balas dendam’ yang menguasai fans tim Tango, apalagi lokasi piala dunia kali ini tidak jauh dari Argentina. Disahkannya Gol Tangan Tuhan Laga memang terbilang sangat seru. Selama 45 menit babak pertama kedua kesebelasan bermain imbang tanpa gol. Meski mendominasi, Argentina kerepotan dengan pertahanan rapi The Three Lions dan serangan balik yang tiba-tiba. Lepas turun minum, Argentina semakin intens melakukan serangan. Di sekitar menit 50 Maradona menggiring bola dari luar kotak pinalti dan mengoper ke rekan setimnya, Jorge Valdano. Valdano berupaya melewati pertahanan Inggris namun dipotong oleh bek Inggris, Steve Hodge. Bola sapuan Hodge kemudian melambung dan mengarah ke gawang Peter Shilton yang berhadapan dengan Maradona. Secara teknis tentu ini keuntungan bagi Shilton. Tingginya 20 cm lebih dari Maradona, ia pun boleh menghalau bola dengan tangan. Tapi semua orang akhirnya tahu apa yang terjadi. Maradona melompat seolah hendak menyundul, padahal memukul bola dengan tangannya. Wasit asal Tunisia, Ali Bennaceur, mengesahkan gol tersebut setelah berkonsultasi dengan asistennya. Maradona sendiri awalnya agak canggung dalam selebrasi, ia baru benar-benar merayakannya saat wasit mengesahkan. Gol Terbaik Sepanjang Masa Fans sepak bola sedunia mungkin akan selamanya menghujat Argentina dan bersimpati pada Inggris, jika ini jadi gol satu-satunya sepanjang laga. Tapi peristiwa empat menit berikutnya membuat hal itu urung terjadi. Menerima operan gelandang Hector Enrique, Maradona berlari sembari menggiling bola selama 10 detik, sepanjang 55 meter. Dia menggocek empat pemain Inggris lalu kemudian penjaga gawang, untuk menyarangkan bola yang menjadi salah satu gol terbaik sepanjang masa. Siapapun yang melihat kesaktian seni driblling seperti itu pasti terpukau. Itu adalah atraksi yang tidak mungkin dikomentari tanpa pujian. Gol Gary Lineker, satu-satunya balasan Inggris di menit ke-81 rasanya benar-benar sekedar hiburan tak penting. Inggris tidak hanya kalah dengan skor 1-2, tapi kalah lewat dua gol yang penuh drama. Dendam Argentina pun terasa tuntas. Apalagi di Piala Dunia ini, mereka keluar sebagai kampiun. Tentu saja, ini menggurat dendam baru di kubu Inggris. Glen Hoddle, pemain Inggris yang kemudian menjadi pelatih di Piala Dunia 1998, mengaku saat anak asuhnya berhadapan dengan Argentina kembali, bayang-bayang kemarahan atas gol Maradona tetap menghantuinya. Wajar saja, drama seperti ini mungkin tak pernah lagi bisa diulang. **RS
Butet Manurung: Pelopor Pendidikan di Pedalaman Indonesia
Rasanya sudah banyak tulisan dan publikasi yang mengangkat Butet Manurung. Orang juga mungkin sudah sangat tahu soal Sokola Rimba, institusi pendidikan alternatif di rimba hutan Bukit Dua Belas Jamb. Kisah perjuangan Butet merintis pendidikan bagi suku Anak Dalam ini bahkan telah diangkat dalam film drama di November 2013, yang disutradai Riri Riza dan dibintangi Prisa Nasution. Kisahnya berawal ketika Butet membaca sebuah iklan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Informasi Konservasi (Warsi) yang isinya mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli hutan Jambi, Suku Anak Dalam, atau mereka menyebut diri sendiri sebagai Orang Rimba. Tahun 1999, Butet bergabung dengan LSM Warsi. Ia tidak langsung melakukan kegiatan belajar mengajar. Selama tujuh bulan mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung ini melakukan pendekatan dan riset mengenai kehidupan dan kebiasaan orang rimba. Niat tulus yang dibawanya dari kota untuk memberikan pendidikan bagi orang rimba tidak berbanding lurus dengan respon yang didapat ketika berada di lapangan. Berbagai penolakan dan hal-hal yang tidak terduga seolah datang bergantian untuk menguji keteguhan hatinya. Masuk ke kehidupan mereka adalah hal yang sangat sulit pada awalnya, Orang Rimba percaya bahwa Orang Terang (cara orang rimba menyebut orang luar) membawa banyak penyakit dan kesialan bagi mereka. Bahkan, ketika salah satu dari orang rimba sakit, seringkali mereka menyebut Butet adalah sumber penyakit tersebut. Pada kesempatan lain, Butet menyampaikan bahwa tujuan mereka hadir adalah untuk mengajar baca, tulis dan berhitung bagi anak rimba. Namun, orang rimba dengan tegas menolak bahwa membaca dan menulis melanggar adat. Bagi mereka pena adalah iblis bermata tajam. Hal ini bukan tanpa alasan, bagi mereka bertemu dengan orang terang yang menggunakan pena menjadikan mereka menderita kesialan. Orang rimba sering kali ditipu dan diusir dari tempat mereka tinggal lantaran menandatangani perjanjian yang berujung pada penggusuran mereka dari wilayah mereka tinggal. Hal ini terjadi karena orang rimba tidak bisa membaca dan mengerti isi dari perjanjian tersebut. Ketika dihadapkan pada situasi tersebut tak satu orangpun yang membantu orang rimba. Ini menjadi titik tolak, Butet semakin bertekad untuk mengajarkan baca dan tulis kepada orang rimba. Hal ini sangat penting agar mereka bisa mempertahankan haknya dan membela nasib sendiri. Penolakan yang dihadapinya tak lantas membuat semangatnya surut, dia tetap melakukan pendekatan sampai akhirnya layak dan dianggap menjadi bagian dari keluarga rimba. Perjuangan Butet Manurung untuk menembus hutan di pedalaman Jambi serta memberikan waktunya bertahun-tahun mengajar orang rimba berbuah manis. Lebih dari 10.000 orang rimba baik dewasa maupun anak-anak menjadi muridnya di Sokola Rimba. Tak hanya membaca, menulis dan berhitung, kini orang rimba pun berhasil mengaplikasikan ilmu tersebut ke kehidupan sehari-hari terutama ketika bersinggungan dengan dunia luar. Tak berhenti disana, Butet ingin kehidupan Orang Rimba semakin diperhatikan. Ia pun menuliskan kisahnya tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba, ini yang mendasari film dengan judul serupa. Sokola Rimba kini tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Setidaknya hingga 2019 ada 16 titik dimana sekolah ini bereksperiman. Diantaranya di Flores, Halmahera, Bulukumba, Pulau Besar, Gunung Egon, Yogyakarta, Makassar dan Sumba. Tujuannya masih sama, untuk membantu mereka yang tinggal di pedalaman mempertahankan haknya dan hidup nyaman di tanah mereka. Dedikasi dan kerja keras perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini pun telah diganjar ragam penghargaan. Mulai dari Man and Biosphere Award dari LIPI dan UNESCO Indonesia (2001), TIME Magazine’s Heroes of Asia (2004), Young Global Leader oleh World Economic Forum, Social Entrepreneur of the Year oleh Ernst and Young, dan terakhir Ramon Magsaysay Award (2014). Butet telah berhasil menerobos berbagai ketidakadilan yang dirasakan oleh Orang Rimba. Sosok ini yang tentu masih kita harap muncul bagi banyak wilayah lain di negeri ini. Kita tetap butuh inspirasi dari individu dengan tekad kuat, serta tulus yang bahkan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang dan berontak ketika saudaranya menjadi korban ketidakadilan. **RS
Tatanan Hidup Suku Kei
Kepulauan Kei. Pasti banyak yang asing dengan tempat ini. Atau mungkin langsung ingat sosok John Kei dan nama preman lain yang memberi kesan keras dan sangar. Padahal Kei adalah gugus pulau eksotis. Terletak di tenggara Provinsi Maluku, dengan dua wilayah administratif, Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Masyarakat Kei mungkin satu-satunya suku yang bertahan hidup dengan mengkonsumsi enbal. Enbal adalah jenis ”singkong beracun” (Manihot duleis). Sejak ratusan tahun lalu, para leluhur Kei berhasil menerapkan fermentasi yang menjinakkan racun tersebut. Enbal kemudian dijadikan makanan khas sumber karbohidrat. Totalitas hidup suku Kei adalah ketika hukum adat, Larvul Ngabal, mampu diimplementasikan di setiap sendi kehidupan. Hukum ini adalah gumulan panjang mengenai kebaikan dan kelangsungan peradaban. Secara etimologi, hukum ini berasal dua kata, yakni Larvul yang berarti darah dan Ngabal yang berarti tombak. Larvul Ngabal merupakan simbolisasi diri manusia, yang menyatakan penolakan terhadap kekacauan sosial dan kesewenang-wenangan. Hukum ini punya wibawa tinggi dan dipakai untuk menuntut setiap orang yang melanggarnya. Yang dipercaya untuk melaksanakan peradilan terhadap pelanggaran hukum ini adalah raja-raja wilayah kepulauan Kei. Terkadang ini yang menyebabkan pemerintah agak kesulitan dalam membangun sistem perekonomian. Energi masyarakat dihabiskan untuk mengurusi hak-hak ulayat, batas tanah, serta persoalan adat. Kearifan lokal sejatinya menjadi kekuatan untuk membangun peradaban masyarakat lewat berbagai pemberdayaan yang dilakukan. Bukan mengungkung diri dari kemajuan peradaban dan teknologi. Harmonisasi spirit kebudayaan dan alam Kei harus mampu dikelola dengan baik sebagai identitas karakter. Nilai positifnya, masyarakat Kei belum menjadi sekedar komoditas pasar, karena kegigihan mereka memegang teguh Larvul Ngabal. Adat memang tidak punya struktur kuat seperti pemerintah, tetapi punya kekuatan dan eksistensi. Adat harus dilihat sebagai anak sulung, bukan menjadi anak tiri di tanah air sendiri. Adat harus menjadi jati diri bagi agama dan hati nurani bagi sebuah pemerintahan. Kei mengajak kita untuk pulang sebentar ke rumah. Di rumah kita tersedia keanekaragaman tatanan hidup. Ambillah harta warisan tadi dan harmonisasikan dengan arus globalisasi niscaya arus itu akan menghidupkan dan bukan menenggelamkan. **AB
Merintis Usaha Tambahan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 mengharuskan warga untuk tinggal di rumah. Kami di Bandung misalnya, sudah stay at home sekitar enam minggu. Salah satu yang dapat saya amati selama ini, terutama di media sosial, adalah maraknya beberapa teman yang mulai berjualan. Seorang rekan saya, yang biasa menjahit baju pesta beralih membuat masker kain, kemudian menjualnya. Ada pula yang meracik hand-sanitizer sendiri. Malah ada yang kembali menekuni hobi lama membuat sejumlah kue kering dan produk makanan lain. Banyak alasan yang mendorong mereka memulai usaha ini. Karena kurang atau tidak adanya pemasukan akibat dirumahkan. Juga karena order yang biasa mereka dapat, sekarang terhenti. Namun, ini juga berarti banyak teman-teman yang ternyata punya potensi. Mungkin selama ini belum tergarap. Dan hebatnya lagi, ternyata karya mereka bisa dijual. Merintis usaha dari rumah di tengah situasi seperti sekarang mungkin tidak mudah. Apalagi buat mereka yang selama ini lebih banyak beroleh pemasukan dari kerja di luar usaha tersebut. Sebagai seorang yang sudah sekitar enam tahun menjalankan usaha makanan dari rumah, saya dapat merangkum sejumlah tahapan yang dapat dipertimbangkan saat memulai usaha. Pertama, kita perlu dengan spesifik menentukan produk yang akan dibuat. Jika memungkinkan pilihlah satu jenis produk yang sudah pernah dibuat dan Anda kuasai cara membuatnya. Itu akan mempermudah proses selanjutnya. Kedua, yang tak kalah penting, adalah mendaftar dan menentukan peralatan yang diperlukan. Sedapat mungkin pakailah peralatan yang ada dan sudah kita miliki. Tidak perlu buru-buru membeli yang baru. Ini untuk mengurangi biaya yang tidak perlu. Ketiga, setelah kita mantap dengan produk dan sarana produksi, kita perlu menghitung dengan saksama modal yang diperlukan dan memperkirakan harga jual. Penting sekali untuk dengan rinci menghitung harga bahan yang kita gunakan untuk membuat produk lalu menjumlahkannya dengan biaya bahan baku, bahan bakar dan biaya-biaya lainnya. Jangan sampai ada yang terlewat. Ini penting agar perhitungan harga jual kita sesuai kemampuan dan kebutuhan. Keempat, kita perlu memikirkan sarana pemasaran produk. Memang sekarang ini terbilang lebih mudah. Kita dapat memulainya dengan lingkaran pertemanan di media sosial. Juga masuk ke dalam platform situs jual beli. Disini, kemampuan networking menjadi sangat perlu. Jika selama ini kita banyak jejaring pertemanan, itu merupakan modal yang sangat baik. **IA
Kuliah Luar Negeri bukan Sekedar Jalan-Jalan
Bapak saya pernah belajar di Universitas Southampton, Inggris. Itu yang membuatnya berkesempatan berjalan-jalan di Eropa daratan ketika masa liburan kuliah. Foto-foto dari berbagai negara menjadi bukti petualangannya di sana. Tapi Bapak kerap menceritakan sisi lain. Kuliah di luar negeri buatnya bukan sekedar jalan-jalan atau belajar. Yang lebih utama adalah soal beradaptasi dan bertahan hidup. Perubahan iklim, perbedaan kebudayaan, dan variasi makanan menjadi tantangan sehari-hari ketika berada di sana. Alasan orang untuk menempuh studi di negeri luar tentu berbeda-beda. Sebagian merasa pendidikan di luar negeri lebih baik dibandingkan Indonesia. Sebagian karena disemangati oleh keluarga yang sudah berada di sana. Sebagian lagi mungkin ingin memuaskan dahaga petualangannya. Terlepas dari alasan pribadi, banyak hal yang disiapkan sebelum berjuang di negeri orang. Misalnya saja, kemampuan bahasa asing. Selain Bahasa Inggris, yang menjadi syarat mutlak, ada baiknya kita juga belajar memahami bahasa nasional dari negara yang akan kita tuju. Tak hanya itu, pengetahuan kita mengenai kondisi sosial dan budaya negara tujuan juga menjadi hal penting. Peribahasa “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” menjadi panduan kita, agar dapat bertahan selama menempuh proses studi. Rasa rindu terhadap keluarga dan kampung halaman juga menjadi tantangan tersendiri. Meski teknologi bisa membantu kita untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman yang jauh, tetap saja kerinduan itu akan menyerang. Ada baiknya kita membawa benda ataupun hal lainnya yang dapat melepas rindu. Selain persiapan untuk berangkat, ada hal-hal lain yang juga perlu diketahui ketika berada di negeri orang. Studi di luar negeri adalah kesempatan untuk menambah kolega dan memperluas jaringan. Sadar atau tak sadar, pertemanan yang dibangun akan akan bermanfaat bagi kita di masa depan. Hal lain yang perlu diketahui juga adalah tawaran kerja selepas lulus studi. Banyak rekan kita yang mengambil tawaran ini, namun tak sedikit juga yang memilih kembali ke Indonesia. Apapun pilihannya, itu adalah sikap dari tanggung jawab kita kepada keluarga, bangsa, dan negara. Yang patut diingat pula, studi di luar negeri membuat kita membuka peluang bagi teman-teman di Indonesia. Peluang seperti info beasiswa, pekerjaan, dan lainnya, akan membantu teman-teman sebangsa kita untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan diri. **SMPS