Kemajuan teknologi telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan masyarakat masa kini. Selain menjadi wadah penyebaran informasi yang tanpa batas dan ruang, dunia maya pun jadi tempat aktualisasi diri sekaligus tempat bersosialisasi bagi masyarakat, termasuk generasi muda. Hal ini pada akhirnya membentuk pola pikir dan gaya hidup baru yang sulit dipisahkan dari kehidupan generasi saat ini. Dunia digital mempertemukan individu dengan berbagai latar belakang serta nilai dan budaya yang beragam. Secara langsung berdampak pada menurunnya wawasan kebangsaan dan semangat nasionalisme di kalangan generasi muda. Kondisinya kian diperburuk dengan munculnya berbagai konten negatif yang berpotensi mempengaruhi perilaku serta cara pandang generasi muda terhadap nilai-nilai kebangsaan Dampak dari kemajuan teknologi ini menjadi tantangan bagi para pengajar, khususnya bagi dosen. Gaya interaksi, komunikasi, dan kebiasaan sehari-hari yang sebelumnya dipengaruhi oleh batasan tempat juga waktu kini mengalami pergeseran. Sebagai pengajar dan bagian dari institusi pendidikan, dosen memiliki peran penting dalam mencapai cita-cita dan tujuan NKRI, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, seorang dosen harus mampu mengaplikasikan nilai-nilai kebangsaan yang tertuang dalam empat konsensus dasar kehidupan berbangsa dan bernegara: Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dosen tidak hanya bertindak sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai luhur yang harus diwariskan kepada generasi penerus bangsa. Melalui peran pengajar, dosen diharapkan dapat menjadi teladan untuk membentuk generasi muda yang memiliki rasa nasionalisme tinggi dan memegang teguh nilai kebangsaan dengan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan Tridharma perguruan tinggi. Melalui pendidikan dan pengajaran, seorang dosen dapat memulai dengan cara-cara sederhana, baik melalui interaksi di dalam kelas maupun metode pengajaran. Salah satu contoh interaksi yang dapat dilakukan adalah dengan tidak mendiskriminasikan mahasiswa berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Selain itu, dalam kegiatan perkuliahan, dosen tidak hanya membahas materi utama perkuliahan, tetapi juga dapat menanamkan nilai-nilai Pancasila melalui diskusi singkat mengenai isu-isu kebangsaan yang sedang hangat, serta bagaimana sebaiknya mahasiswa bersikap di dunia digital. Dengan demikian, peran dosen sebagai pendidik tidak hanya terbatas pada penyampaian materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang membimbing mahasiswa untuk memahami dan menerapkan nilai-nilai kebangsaan dalam keseharian mereka. Melalui penelitian, seorang dosen dapat berinisiatif untuk melakukan kolaborasi riset dengan dosen lain, baik dalam bidang yang sama maupun lintas bidang, serta dengan mahasiswa. ”Less competition, More collaboration!” dapat menjadi semangat baru dalam pelaksanaan penelitian. Melalui kolaborasi, akan terbentuk sikap saling bergotong royong, penghargaan terhadap perbedaan pendapat, pengembangan toleransi, pemeliharaan kesatuan, dan penghindaran sikap individualistis. Selain itu, melalui budaya penelitian yang baik, Dosen dapat memberikan contoh dan mengajarkan kepada mahasiswa bagaimana mencari informasi dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan serta menuliskan hasil penelitian berdasarkan fakta atau data yang aktual dan dapat dipercaya. Dengan cara ini, mahasiswa dapat belajar secara langsung untuk memilah informasi yang diperoleh dari dunia digital dan terhindar dari hoaks. Melalui pengabdian kepada masyarakat, dosen dapat berkontribusi untuk ikut andil dalam penyelesaian masalah yang ada di masyarakat dengan melibatkan mahasiswa, sehingga mereka dapat belajar melihat permasalahan sosial. Sehingga mahasiswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi serta rasa cinta terhadap bangsa dan negara. Dengan demikian, nilai-nilai kebangsaan yang diinterpretasikan melalui metode pengajaran dan interaksi selama perkuliahan diharapkan dapat menjadi kebiasaan positif yang terbentuk secara tidak langsung selama mahasiswa menimba ilmu di universitas. Ketika mahasiswa lulus, nilai-nilai tersebut akan melekat sebagai bagian dari jati diri mereka saat terjun ke masyarakat dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan tinggi. Akhirnya, keberhasilan pendidikan kebangsaan ini tidak hanya terletak pada metode yang diterapkan, tetapi juga pada komitmen dosen untuk terus mendampingi mahasiswa dalam proses pembentukan karakter dan identitas kebangsaan yang kokoh. Melalui peran aktif dan konsistensi dosen, generasi muda diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang mampu menjaga keutuhan bangsa dan melestarikan nilai-nilai kebangsaan di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi. Dr. Alvina Kusumadewi Kuncoro, S.Si, M.Si,, Pemerhati Pendidikan
Tuesdays with Morrie: Pertemuan Selasa Memaknai Hidup
Karya Mitch Albom yang satu ini memang unik. Dibuat berdasarkan kuliah yang dijadwalkan setiap Selasa dengan sang profesor, Morrie Schwartz. Dimulai seusai sarapan. Kuliah itu bertema Makna Hidup, bahan-bahan kuliahnya digali dari pengalaman. Albom mulai berkisah dengan menceritakan Morrie dan istrinya, Charlotte, mendapatkan kabar yang tak menyenangkan. Morrie menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS), atau penyakit Lou Gehrig, suatu penyakit ganas yang menyerang sistem saraf. Apakah hal ini membuat Morrie berdiam diri dan ‘menyerah’ begitu saja pada nasib? Ternyata tidak. Sebaliknya, Morrie membuat sisa hidupnya, hari-harinya, sebagai proyeknya yang terakhir. Morrie seperti kitab terbuka yang berkata: “Belajarlah dari lambat dan perlahannya proses kematianku. Perhatikan apa pun yang terjadi padaku. Belajarlah bersamaku.” Disinilah Tuesday With Morrie pelan-pelan mengajak semua merenungkan kembali hal bermakna dalam hidup. Morrie mengutip ucapan Levinas, “Cinta adalah satu-satunya perbuatan yang rasional.” Kita mungkin pernah mendengar atau menyaksikan kisah-kisah nyata ketika orang-orang yang tak saling kenal, bahu membahu, bertolong-tolongan dalam upaya penyelamatan mereka yang terkubur dalam reruntuhan bangunan akibat sebuah gempa dahsyat. Atau upaya menemukan mereka yang masih hidup diantara ribuan mayat akibat hempasan gelombang Tsunami. Apalagi alasannya, jika bukan karena cinta: perbuatan, tindakan yang rasional. Kita mungkin sering menghabiskan waktu untuk mengasihani diri sendiri, yang membuat perjalanan hidup mandek, padahal semestinya berlanjut dan diisi dengan beragam karya serta prestasi. Terjatuh itu biasa dalam hidup. Tapi jadi tidak wajar ketika kita membiarkan diri terkubur dalam kejatuhan itu, tanpa berupaya bangkit dan menata kembali hidup. Morrie mengingatkan kita agar mengerjakan segala sesuatu secara berbeda, bagaimana kita harus hidup dan menghayati dunia ini secara penuh, karena kita mestinya percaya akan kematian yang akan terjadi pada diri kita. Buku ini tak sekedar menyuguhkah kisah pertemuan setiap Selasa. Tak hanya sebuah catatan hidup dan bermakna yang masih relevan dan senantiasa ‘tumbuh’ di setiap zaman dalam tumbuh kembang peradaban umat manusia. Lebih dari itu, dialog-dialog yang terjadi antara Morrie dan Albom, semestinya menggugah kita untuk “berhenti sejenak”. Apakah tujuan hidup kita jelas dan kita sedang melangkah pada jalur yang semestinya dalam perspektif yang benar? Ataukah kita justru menyimpang terlalu jauh dalam memaknai dan menjalani hidup, karena arus deras “cuci otak” yang diciptakan – atau yang kita ciptakan – di sekitar kita membuat kita kehilangan arah? Apakah keberadaan kita dan apa yang kita lakukan telah relevan dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dunia – terutama sesama manusia? **DW Judul Buku: Tuesdays with Morrie Penulis: Mitch Albom
Soe Hok-Gie… Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Lima puluh tahun yang lalu, Indonesia telah kehilangan salah satu anak bangsa terbaiknya di puncak tertinggi Pulau Jawa. Dia adalah akademisi, aktivis, humanis, dan pecinta alam yang berhasil menggagas perubahan sosial di tahun 1966 bersama kawan-kawan mahasiswanya yang lain. Dialah Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya. Tulisan-tulisan Gie yang terlihat melawan Orde Baru menyebabkan namanya seakan hilang dari catatan sejarah. Baru muncul lagi di era 1980-an ketika LP3ES, menerbitkan catatan hariannya dengan judul Catatan Seorang Demonstran (CSD). Buku ini berisi pandangan dan dokumentasi kegiatan Gie mulai dari SMP hingga bermetamorfosis menjadi seorang aktivis mahasiswa. Beberapa penerbit lain juga berupaya untuk mengingatkan lagi memori akan Soe Hok Gie melalui pembukuan hasil tulisannya. Mulai dari kumpulan artikelnya (Zaman Peralihan), skripsi sarjana muda (Di Bawah Lentera Merah), dan skripsi sarjana (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan). Ada juga John Maxwell, yang membahas dinamika perjalanan semasa Gie masih hidup, khususnya periode ketika dia menjadi aktivis. Buku itu berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Saat memperingati 40 tahun kematian Gie, ada referensi tambahan. Buku dengan judul Soe Hok-Gie… Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Karya ini digagas oleh beberapa teman Gie semasa berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Buku ini berisi opini terhadap Soe Hok Gie dari berbagai pihak yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Buku ini memiliki sedikit perbedaan jika dibandingkan dengan buku-buku Gie sebelumnya. Jika buku-buku sebelumnya selalu berisi mengenai opini sang demonstran pada dunia dan lingkungan sekitarnya, buku ini justru berisi mengenai opini dari dunia dan lingkungan sekitarnya pada pribadi aktivis ini. Hal itu pula yang membedakan buku ini dengan karya John Maxwell. Maxwell menulis Soe Hok Gie sebagai tokoh historis dan dianalisis secara akademis. Sementara, buku ini menceritakan sosok Soe Hok Gie sebagai seorang kawan, seorang guru dan dianalisis dengan lebih membumi karena didasarkan pada pengalaman pribadi. Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi layak untuk dibaca dan melengkapi referensi atas sosok Gie. Disamping itu, buku ini juga dapat mengubah stigma publik terhadap sosok yang telah dikultuskan sebagai aktivis, sehingga terkesan sangat jauh dan tidak terjangkau oleh pembaca. Padahal, sesungguhnya sosok Soe Hok Gie tak berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, meski dirinya terkenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling. Namun sekaligus inilah yang membuat saya tidak menyarankan buku ini dibaca sebagai perkenalan menuju dunia Soe Hok Gie, khususnya bagi para pembaca yang belum pernah mengonsumsi Catatan Seorang Demonstran, atau buku-buku Gie lainnya. Menurut pendapat saya, buku ini lebih bersifat komplementer terhadap buku-buku yang telah terbit sebelumnya. Catatan Seorang Demonstran masih merupakan karya paling baik mengenalkan sosok Soe Hok Gie. Film Gie pun sudah cukup memberikan gambaran umum bagaimana dinamika kehidupan Soe Hok Gie semasa kecil hingga menjadi aktivis mahasiswa, meski banyak kekurangan disana-sini. Meski demikian, buku ini layak dibaca dan dimiliki para pembaca yang mengidolakan Soe Hok Gie, ataupun bagi mereka yang ingin lebih mengenal sosok Soe Hok Gie. Tentunya dengan harapan agar Indonesia melahirkan lebih banyak pemuda yang memiliki integritas dan kegigihan seperti Soe Hok Gie. **PN Penulis: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R. (ed.) Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dengan Univ. Indonesia, ILUNI Univ. Indonesia, dan KOMPAS Tebal: xxxix + 512 hlm
The Strongman and Facism
The Strongman karya Gideon Rachman dan Fascism dari Madeleine Albright adalah dua buku bagus yang harus dibaca untuk memahami dilema politik dunia pada masa kini. Kedua buku ini menjadi cermin yang memantulkan ambiguitas dunia politik. Pada satu sisi, rakusnya manusia pada kekuasaan. Pada sisi lain, kerapuhan manusia karena godaan kekuasaan itu sendiri. Meski pesannya hampir sama, kedua pengarang itu berbeda dalam cara mereka menelusuri jalan-jalan gelap politik yang bisa membawa dunia ke jurang kehancuran. Di tangan Rachman, strongman muncul bagaikan sosok perkasa, berdiri di tengah badai krisis ekonomi, menggenggam janji stabilitas yang dinanti-nanti oleh rakyat yang dilanda kecemasan. Pemimpin ini menyalahgunakan sistem demokrasi, bersuara keras dan tegas, memikat massa yang lapar akan perubahan. Sang pemimpin alias the strongman akan berseru, “Aku akan menyelamatkanmu,” namun di balik jubah kekuatan itu, tersembunyi pedang yang siap merobek institusi demokrasi, meruntuhkan kebebasan yang selama ini dijaga. Rachman melihat bagaimana dunia modern, dengan globalisasi yang merenggut pekerjaan dan menciptakan kesenjangan, membuka jalan bagi mereka yang mengklaim diri sebagai pelindung rakyat. Mereka hadir dengan janji yang memesona, namun di setiap langkah, mereka menghancurkan apa yang dulu dibangun: kebebasan pers, hukum yang adil, hak untuk memilih. Dalam dunia Rachman, strongman bukanlah tiran yang memaksa, melainkan sosok yang disambut dengan tangan terbuka, hingga akhirnya merampas segalanya. Albright membawa kita ke lorong-lorong pengalaman masa lalunya, ke dunia di mana fasisme pertama kali muncul, membawa kengerian yang membakar bumi. Fasisme, dalam pandangan Albright, bukan sekadar ideologi yang ditandai dengan kekerasan dan perang, melainkan racun yang perlahan menyebar melalui retorika kebencian, pembatasan kebebasan, dan janji kekuatan yang palsu. Fasisme lama datang dengan parade, simbol, dan slogan yang memekakkan telinga, namun, kata Albright, fasisme baru lebih halus, lebih licik, merayap melalui celah-celah ketakutan dan ketidakpuasan. Albright memperingatkan bahwa fasisme bukanlah kenangan masa lalu. Ia hadir dalam wujud baru, merasuki dunia yang lelah dengan ketidakpastian. Fasisme modern tidak selalu mengenakan seragam atau menyulut perang, tetapi menggerogoti fondasi demokrasi dengan membatasi kebebasan berbicara, menumbuhkan kebencian pada minoritas, dan memanipulasi ketakutan akan perubahan. Dalam dunia Albright, fasisme adalah bayangan gelap yang terus mengintai, siap bangkit kapan saja saat dunia lengah. Di antara dua dunia ini, Rachman dan Albright berdiri sebagai pengingat. Mereka sama-sama memperingatkan kita akan bahaya pemimpin kuat yang datang dengan janji stabilitas di saat krisis. Namun, perbedaan mereka terletak pada jalan yang mereka telusuri. Rachman melihat ke masa kini, pada pemimpin seperti Donald Trump, Vladimir Putin, atau Jair Bolsonaro—para pemimpin yang muncul dari krisis modern dan ketidakpuasan globalisasi. Mereka memegang kendali atas demokrasi, tetapi secara perlahan meruntuhkan pilar-pilar kebebasan dari dalam. Sementara itu, Albright memandang lebih dalam ke sejarah. Dia mengingatkan kita bahwa bayangan fasisme tidak pernah benar-benar hilang. Ia mungkin telah berubah bentuk, namun esensinya tetap sama—otoritarianisme yang mengancam kebebasan dan martabat manusia. Dia memperingatkan bahwa demokrasi bisa hilang bukan hanya melalui perang, tetapi melalui langkah-langkah kecil yang membawa kita semakin jauh dari kebebasan yang sesungguhnya. Keduanya berbicara tentang kekuasaan yang terlalu besar, dan harga yang harus dibayar untuk kebebasan yang dikorbankan. Rachman berbicara tentang para strongman modern yang meraih kekuasaan melalui krisis, sementara Albright memperingatkan kita tentang fasisme yang terus mengintai, siap merasuki dunia yang lemah. Dalam dua suara yang berbeda, mereka menyampaikan satu pesan yang sama: kewaspadaan adalah kunci agar kebebasan tetap hidup di dunia yang rapuh ini. Pdt. Dr. Albertus Patty, Intelektual Kristen
Melawan dengan Kotak Kosong
Politik memang dinamis. Namun, bukan berarti segala sesuatu boleh. Politik memang kadang sulit ditebak dan sangat cair. Akan tetapi, bukan berarti semuanya menjadi halal. Masyarakat dan elit politik harus tetap memegang prinsip atau nilai. Tanpa prinsip dan nilai yang menjadi pegangan etis-moral, politik hanya akan memuaskan syahwat kekuasaan. Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah hajatan politik yang seharusnya memperlihatkan daulat rakyat yang beretika. Pilkada semestinya menampakkan juga kewarasan elit dan partai politik yang berkomitmen kepada kemajuan demokrasi yang substantif. Pilkada bukan sekadar instrumen untuk meraih kursi kekuasaan. Dan, Pilkada itu akan gagal apabila ia tidak berhasil mendukung tumbuh suburnya budaya demokrasi. Kartel Politik dan Politik Kartel Mematikan Demokrasi Dalam Pilkada serentak yang akan dilangsungkan pada November 2024, ada 44 daerah (propinsi, kabupaten/kota) yang mengusung satu pasangan calon. Artinya, masyarakat di 44 daerah itu tidak memiliki pilihan lain. Satu pasangan calon di propinsi dan kabupaten/kota itu akan melawan kotak kosong. Kondisi semacam ini tentu tidak baik untuk masa depan demokrasi. Mengapa? Sebab demokrasi itu mati kalau tidak ada perbedaan. Demokrasi itu tidak akan berkembang kalau tidak ada pilihan. Satu pasang calon dalam Pilkada itu bukan kemajuan demokrasi. Hal itu justru memperlihatkan kuatnya kartel politik yang membangun perkoncoan untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Kartel itu menjalankan politik kartel dengan merangkul sebanyak mungkin kelompok kepentingan agar kekuasaan dapat raih dan dijalankan tanpa ada oposisi yang kritis. Politik kartel itu adalah politik hegemoni yang ingin berkuasa tanpa kontrol. Karena itu, kartel politik dan politik kartel dalam jangka waktu tertentu akan mematikan demokrasi. Sebab, tak ada lagi daulat rakyat, yang tertinggal adalah daulat partai dan elit politik-ekonomi. Kartel politik tidak berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan masyarakat, tetapi semata-mata pada kepentingan politik dan ekonomi elit. Rakyat hanya boneka atau objek kekuasaan dan ekonomi. Karena itu, elit politik membeli suara rakyat. Para elit ini jor-joran menggelontor uang. Di daerah tertentu, untuk menjadi seorang Gubernur, para calon itu harus mengeluarkan uang paling sedikit 66 Milyar. Di daerah lain bisa jauh lebih besar. Uang sebanyak itu untuk apa? Antara lain membeli suara pemilih. Politik biaya tinggi seperti ini hanya bisa dilakukan oleh politisi dan orang berduit. Itu sebabnya, dalam praktik politisi berkonco dengan pemilik modal. Kartel politik dan ekonomi berkomplot, sehingga pasangan calon tertentu dalam Pilkada dibiayai oleh pengusaha. Semakin besar komplotan politikus-pengusaha semakin efektif, dan mereka akan menjadi gurita yang justru membunuh demokrasi dan masyarakat. Kembalikan Daulat Rakyat Daulat rakyat harus dikembalikan. Rakyat yang berdaulat dalam politik adalah rakyat yang suaranya tidak bisa dibeli. Rakyat yang berdaulat dalam politik menjadi subyek perubahan. Mereka tidak bisa disogok. Mereka berpegang pada prinsip demokrasi dan etika. Rakyat yang berdaulat dalam politik itu kritis. Dalam situasi tertentu, mereka dapat memilih kotak kosong jika hanya ada satu pasang calon dalam Pilkada. Apalagi, calon tersebut tidak memiliki rekam jejak yang baik, tidak memiliki kompetensi dan integritas. Memilih kotak kosong dapat menjadi perlawanan terhadap kartel politik yang hegemonik, sekaligus memberikan pendidikan bagi para elit yang haus kuasa bahwa berdemokrasi itu harus ada pilihan. Berbeda itu biasa. Berjuang untuk meraih kekuasaan itu bagian dari politik, tetapi jangan bunuh demokrasi. Jangan hilangkan pilihan dan daulat rakyat. Politik harus menjadi seni yang memperindah demokrasi serta berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan rakyat. Esensi inilah yang harus dihidupi dalam berpolitik dan berdemokrasi. Pdt. Dr. Hariman A. Pattianakotta, Pendeta dan Pemerhati Politik
Ichiyo: Perempuan Berprinsip Menari Bersama Nasib
Membaca kisah Natsuko Higuchi, seorang perempuan hebat di tempat dan waktu yang jauh, membuat hati jadi hangat. Kisah perempuan yang dikenal dengan nama pena Ichiyo (harafiah: selembar daun) berlatar masa Restorasi Meiji. Masa pengembalian kekuasaan ke tangan Kaisar yang sebelumnya dipegang oleh Shogun dari dinasti Tokugawa. Peristiwa peralihan itu terjadi di abad ke-19. Restorasi Meiji membuat Kaisar bergegas mengirimkan putra-putra terbaik bangsa ke luar negeri. Mereka belajar berbagai macam ilmu pengetahuan untuk memajukan Jepang yang baru. Ini berimbas pula pada teknik cetak yang berkembang sehingga banyak koran dan novel yang dibaca oleh rakyat. Masa ini disebut ‘Bunmei Kaika’ (Masa Pencerahan). Tetapi masa yang katanya ‘cerah’ ternyata tak banyak berpengaruh bagi kehidupan perempuan. Di masa itu terkenal sekali motto ‘ryosai kenbo’ atau “istri yang baik dan ibu yang bijak”. Motto ini membuat perempuan harus memahami perannya sebagai ibu rumah tangga yang menggerakkan kehidupan keluarga. Perempuan boleh bersekolah tetapi hanya agar mereka menjadi calon ibu yang cerdas yang dapat melahirkan dan mendidik anak-anak cerdas. Selain itu, mereka juga wajib menguasai ketrampilan mengurus rumah tangga sebagai bekal kelak berkeluarga. Apanya yang cerah ketika perempuan tak bisa memasuki bidang profesi laki-laki? Tak boleh memiliki properti dengan nama sendiri? Itu adalah latar hidup Ichiyo. Namun, ada yang membedakannya dengan perempuan lain. Sejak Ichiyo kecil, ayahnya mengenalkan dunia ajaib. Dunia buku yang membawanya bebas berkelana di dunia kata dan imajinasi yang pada akhirnya mendorong dia untuk menulis. Ichiyo tenggelam dalam buku-buku yang disodorkan ayahnya dan ia makin mahir mengintepretasi sajak. Hingga setiap sore ia membacakan sajak di perkumpulan sastrawan ketika ia masih berusia 11 tahun. Kecintaannya pada buku dan menulis membuat ia ingin sekolah setinggi mungkin dan menjadi penulis profesional. Sementara itu, ibu Ichiyo adalah sisa pendidikan era Tokugawa yang memandang pekerjaan perempuan hanya di seputar sumur, dapur dan kasur. Ia tak senang suaminya mendidik Ichiyo menjadi gadis berkacamata tebal. Ibu Ichiyo sudah mengatur agar anaknya hanya memiliki sedikit waktu untuk membaca dan lebih banyak mengerjakan pekerjaan domestik. ‘Kelas Feminin’ mengajar memasak, menjahit, dan merangkai bunga. Ichiyo lakukan semua itu dengan keseriusan total bukan karena ia suka tetapi karena ia perfeksionis. Pada akhirnya Ichiyo berhasil masuk sekolah bergengsi yang memuaskan hasrat sastra dan menulisnya. Namun kisah hidup tak dapat diduga. Perlahan namun pasti kondisi keuangan keluarga Ichiyo merosot tajam semenjak kematian kakak lelakinya dan ayahnya. Tapi, Ichiyo tetap bertekad menjadi penulis. Yang menarik, Ichiyo adalah perempuan berprinsip. Ia tak mau mengikuti selera pasar yang mendikte penulis agar menulis kisah yang dangkal dan vulgar. Ia bahkan tak mau menggunakan nama pena laki-laki agar karyanya diterima dan dibaca masyarakat. Perlahan tapi pasti karyanya disukai dan disambut positif bahkan oleh Bungakkai, kelompok sastrawan yang kritis terhadap karya tulis. Menjelang akhir hidupnya, si selembar daun masuk dalam lingkaran sastrawan elit yang semua anggotanya adalah laki-laki. Satu-satunya penulis perempuan yang disegani dan membuat penulis laki-laki berguru padanya. Membaca kisah Ichiyo, saya merasakan detak perjuangan perempuan. Mengamatinya yang gemulai namun tegas menari bersama nasib. Bagaimana mimpinya dibuahi dan diperjuangkan sepenuh hati. Membaca Ichiyo pun membuat saya merenung. Bagaimana dengan perempuan di Indonesia? Apa mimpi kalian? Bagaimana dengan pola asuh di keluarga, sekolah, agama serta masyarakat? Maukah kita mendorong perempuan-perempuan Indonesia bermental baja, memiliki prinsip, berwawasan luas, dan tetap merawat kehidupan? Yang bukan hanya ayu kemayu tetapi cerdas menari bersama nasib! **YD
Darurat Demokrasi: Indonesia Dibajak Kartel
Hari-hari ini kita sedang diperhadapkan dengan dagelan politik yang sama sekali tidak lucu. Para elit politik sedang memperlihatkan syahwat kekuasaan yang begitu tinggi. Melalui sang paman, Mahkamah Konstitusi (MK), sempat diselewengkan menjadi mahkamah keluarga, mengubah aturan mengenai usia calon wakil presiden supaya Gibran bisa menjadi calon Wapres. Skenario ini sukses, sebab KPU langsung menjalankan keputusan MK yang tidak bulat dan kontroversial serta melanggar etika itu. Gibran pun melenggang menjadi Wapres terpilih. Namun, kali ini MK membuat keputusan yang sangat baik untuk merawat demokrasi, yakni dengan menetapkan ambang batas baru bagi partai politik untuk mengusung calon dalam Pilkada. Juga keputusan MK soal batas usia kepala daerah. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini DPR RI kemudian melakukan pembahasan kilat Rancangan UU tentang Pilkada. Dan seperti yang kita ketahui, kemarin setelah didesak masyarakat, pembahasannya ditunda. Hal ini dilakukan untuk membegal keputusan mengenai ambang batas dan usia itu. Padahal, RUU tentang Pilkada itu tidak menjadi agenda Prolegnas. Tujuan dari tindakan pembegalan oleh DPR RI itu adalah supaya calon yang diusung oleh koalisi gemuk tidak mendapatkan lawan. Rakyat hanya datang untuk mengisi kotak kosong. Di beberapa daerah, skenario ini sedang dimainkan. Selain itu, Jokowi juga berkepentingan untuk menaikan anaknya sebagai calon wakil gubernur. Politik Dinasti dan Politik Kartel Tindakan Jokowi akhir-akhir ini memang makin terasa janggal. Menteri yang hanya tinggal dua bulan saja diganti. Imbas dari perseteruannya dengan PDIP. Mengganti atau tidak seorang menteri memang haknya presiden. Tetapi, mengganti dengan alasan yang tidak jelas dan hanya karena kepentingan politik kekuasaan, jelas tindakan Jokowi itu bukan demi rakyat Indonesia. Makin jelas bagi masyarakat Indonesia bahwa yang Jokowi pikirkan adalah dinasti keluarganya. Jokowi telah berhasil membawa Gibran dari Walikota menjadi Wapres. Ia sukses juga membawa menantunya menjadi walikota dan kini digadang-gadang untuk menjadi Gubernur Sumut. Dan sekarang Jokowi mau menjadikan Kaesang sebagai kepala daerah. Politik dinasti Jokowi ini klop dengan politik kartel. Para elit politik bekonco dengan para penguasa untuk memastikan kartel bisnisnya bisa berjalan dengan baik. Karena itu, koalisi politik dibangun sedemikian rupa, supaya politik perkoncoan itu dapat mulus berjalan. Dalam nalar sederhana mungkin kita bertanya, kok bisa seorang Jokowi melakukan semua hal yang merusak tatanan demokrasi seperti yang dipertontonkan akhir-akhir ini? Menurut saya, Jokowi tidak sendiri. Ada kartel di belakangnya. Dan Jokowi telah memasang orang-orangnya di berbagai lini, mulai dari kepolisian sampai TNI. Kondisi ini membuat kita sedang berada dalam kondisi darurat demokrasi. Demokrasi kita terancam mati. Padahal, demokrasi itu adalah buah reformasi yang dipetik sebagai hasil dari perjuangan yang berdarah-darah. Sayangnya, setelah sekian lama Reformasi, kita kembali lagi seperti hidup di masa Orde Baru. Mungkin kini kita sudah di post-Reformasi, yang memperlihatkan wajah buruk dari politik kartel dan politik dinasti. Pesan Untuk Rakyat dan Pemerintah (Yang Baru) Dalam situasi ini, saya kira rakyat tidak boleh diam. Masyarakat sipil harus eling dan bangkit, karena selama ini telah terhipnotis dengan seorang yang bergaya jelata. Aksi-aksi yang dilakukan sejak kemarin dengan turun ke jalan harus dilakukan terus sebagai bentuk kontrol terhadap pemerintahan yang semakin lalim. Para Guru Besar dan Akademisi memang harus bersuara lantang. Pers harus kritis dan memihak kepada kebenaran. Situasi darurat ini memang butuh respons yang tepat dan benar. Kita harus berpihak pada masyarakat dan demokrasi. Anggota DPR RI yang tidak hadir sehingga tidak korum dalam usaha pembegalan kemarin kita apreasiasi. DPR memang harus memihak kepada rakyat. Semoga semakin banyak yang eling. Bukan berpihak pada politik busuk yang hanya mau menang dengan menghalalkan segala cara. Saya pikir, Pak Prabowo juga pasti tidak mau terjerat dalam jebakan politik dinasti Jokowi. Semoga benar yang dikatakan bahwa Pak Prabowo sudah selesai dengan dirinya. Ia hanya memikirkan masa depan Indonesia yang demokratis, adil, dan sejahtera! Merdeka!! Lawan kelaliman! Pdt. Dr. Hariman A. Pattianakotta, Pemerhati Sosial
Djaga Depari: Antara Cinta, Sedih dan Bangsa
Rasanya tak ada yang bisa menyambungkan suara hati masyarakat Karo dengan not lagu, selihai Djaga Depari. Di tangan komponis bersahaja ini, hampir semua curahan semangat Karo tersimfoni sempurna. Lagu-lagu Djaga Depari dengan gamblang bercerita keindahan alam, romantisme cinta, kesedihan hidup serta semangat mempertahankan kemerdekaan. Semuanya amat kental dengan keseharian warga Karo. Depari menulis sejumlah lagu heroik semisal Erkata Bedil (Dentum Senjata) yang menyemangati pejuang di Pertempuran Medan Area, atau Kemerdekaanta (Kemerdekaan Kita) yang memberi nasehat pada para pemuda agar gigih mempertahankan kemerdekaan. Tapi komponis kelahiran Serebaya, Tanah Karo 5 Mei 1922 ini, juga menulis tembang romantis semacam Terang Bulan, atau yang sangat melankolik seperti Piso Surit. Diperkirakan Djaga Depari menulis ratusan lagu. Namun hanya sekitar tujuhpuluhan karyanya yang kini terdokumentasi dengan baik. Sering kali lagunya lebih dahulu populer di masyarakat, tanpa ia memperoleh royalti. Lulus dari Christelijk HIS (Sekolah Dasar yang dikelola Zending Kristen) di Kabanjahe pada 1939, Djaga Depari memilih untuk berfokus pada musik. Ia pun berangkat ke Medan untuk menjadi seniman. Pria dari Sub-merga Ginting ini memang konsisten dengan pilihan hidupnya, meski pada masanya karir sebagai pemusik bukanlah hal yang menjanjikan secara finansial. Djaga Depari sempat berkiprah dalam orkes Melayu, Melati-Putih. Orkes yang pemainnya multi etnis ini sangat terkenal di Sumatera Timur selama era 1940-an. Sangat mungkin selama kiprahnya disini Djaga Depari juga menulis syair lagu yang tidak berbahasa Karo. Tapi sejauh ini belum ditemukan karya-karyanya yang menggunakan bahasa selain Karo. Saat Jepang tiba di Sumatera di tahun 1943, Djaga Depari memutuskan kembali ke desa kelahirannya di Seberaya. Ia kemudian menulis lagu untuk kepentingan perjuangan dan menyuarakan suara masyarakatnya. Disinilah ia mulai menghasilkan sejumlah karyanya yang legendaris. Karya-karya ini banyak dijadikan rujukan oleh komponis Karo generasi berikutnya. Kreativitas Djaga Depari terus berlanjut hingga akhir hayatnya di 15 Juli 1963. Ia mewariskan cerita bersama masyarakat Karo lewat lagu-lagunya. Lewat syairnya soal cinta, kesedihan dan penghargaannya pada bangsa.
Tak Ada Pertemuan tanpa Cimpa
“Ija Cimpa-na?”[1] Pertanyaan seperti itu barangkali akan muncul, apabila di pertemuan masyarakat Karo, orang belum menikmati Cimpa. Penganan berbahan dasar ketan ini hampir dipastikan selalu ada dalam perpulungen (musyawarah, kebaktian lingkungan, pertemuan keluarga, dll), merdang merdem (kerja bakti tahunan), atau sejumlah pesta. Biasanya Cimpa yang digunakan dalam forum-forum tadi adalah Cimpa Unung-unung. Kue ini terbuat dari tepung ketan merah yang diisi gula aren dan parutan kelapa. Adonan ini lalu dibungkus daun singkut kemudian dikukus. Cimpa unung-unung dibungkus dengan bentuk memanjang. Rasa manisnya terbilang pas di lidah, apalagi jika dimakan saat masih hangat. Pada masa sekarang cimpa unung-unung juga sering dibungkus menggunakan daun pisang. Tapi penggantian ini menghasilkan sensasi aroma yang berbeda. Meski sama-sama harum, daun singkut memberi aroma khas yang lebih kentara. Ini yang akhirna membedakan rasa cimpa dengan kue ketan sejenis, semisal kue unit di Jawa atau lappet di Tanah Toba. Cimpa juga ditemui dalam bentuk lain, yang pembuatannya tidak serumit cimpa unung-unung. Ada adonan cimpa yang langsung dicampur jadi satu, lalu digoreng dengan minyak atau lemak. Ini dikenal dengan nama Cimpa Tuang. Ada pula adonan cimpa yang dicampur dan disajikan agak mentah/setengah matang dikenal dengan nama Cimpa Matah. Kedua versi cimpa ini biasanya dinikmati sehari-hari, agak jarang disajikan dalam forum resmi. Bagi masyarakat Karo menikmati cimpa, terutama cimpa unung-unung, berarti menikmati momen kebersamaan. Disana ada pertemuan, gotong royong dan semangat saling membantu. Cinta dan kebersamaan yang mengalir, bukan sekedar didokumentasikan dengan foto, tapi dirasai bersama dalam manisnya cimpa. Mungkin saja frasa ‘tak ada pertemuan tanpa cinta, kehangatan pembicaraan serta karya bersama” bisa disederhanakan dan dikonkritkan menjadi “tak ada pertemuan tanpa cimpa.” [1] Dimana cimpanya? (Bahasa Karo)
Cipera Manuk: Ayam Berkuah Kental yang Dirindukan
Menu makanan utama di Pulau Sumatera memang selalu kaya bumbu. Tidak terkecuali Cipera Manuk, sajian daging ayam khas Tanah Karo. Tapi tidak seperti rendang, gulai, lempah atau makanan pesta lainnya, Cipera adalah makanan rumahan. Biasa dinikmati dalam keluarga atau kelompok yang tidak terlalu besar. Hal itu justru yang membuatnya sering dirindukan oleh orang-orang yang merantau. Cipera Manuk dibuat dari potongan daging ayam yang dimasak dengan tepung atau parutan jagung yang halus beserta sejumlah bumbu seperti: santan kelapa, bawang, kemiri, serai, cabai, andaliman dan terutama asam patikala (kecombrang). Parutan/tepung jagung inilah yang sebenarnya disebut ‘Cipera’. Ke dalam porsi ini juga ditambahkan jamur (biasanya jamur merang) yang menjadikan sensasi empuknya bisa dinikmati bergantian dengan daging. Cita rasa Cipera Manuk biasanya sangat ditentukan oleh pilihan daging ayam dan kualitas jagung. Di Tanah Karo ayam kampung adalah pilihan yang sering diambil. Daging ayam kampung akan lebih lama menjadi lembut, jadi bumbu akan semakin meresap. Demikian pula terkait jagung yang diparut atau dijadikan tepung. Tepung dari jagung tua umumnya lebih banyak dipakai, meski parutan halus jagung muda juga punya cita rasa yang unik. Kuah kental Cipera meninggalkan sensasi khas di lidah. Ada asam, segar, pedas, kelat, getar di mulut namun lembut. Ini yang membuatnya bisa dinikmati berbagai usia dan meninggalkan rasa yang mendalam, tapi tidak terlalu mengagetkan. Bagi lidah yang kurang terbiasa dengan makanan berbumbu, rasa Cipera masih bisa ditoleransi. Tidak semengagetkan masakan Karo lain, katakanlah seperti Terites (olahan makanan di perut kerbau/sapi) atau porsi lengkap Tasak Telu (mengandung masakan ayam yang dibumbui marus, yang dalam tradisi awal selalu disajikan bersamaan dengan Cipera). Meski keduanya punya kelezatan tersendiri, orang umumnya perlu penyesuaian saat pertama kali menikmatinya. Lebih dari sekedar rasa di lidah, Cipera selalu dilekatkan dengan suasana rumah. Dalam seporsi Cipera, tergambar kekhasan suasana rumah tangga Karo. Keseharian yang penuh rasa: bahagia-derita, ramah-marah, getir-manis, segar-sesal – namun diolah dalam proses. Semuanya kemudian menampil dalam diri Manusia Karo yang lembut dan dewasa. Tapi tetaplah mereka perlu ditambahi unsur lain, yaitu persaudaran dan kekerabatan, itu yang membuat mereka semua bisa bergantian menanggung suka-duka. Terlalu filosofiskah? Barangkali begitu. Yang jelas, Cipera memang akan selalu dirindukan justru karena kesederhanaan dan kesehariannya. Rasanya seakan memanggil pulang para petualang yang lelah. Beroleh kesegaran. Mendapatkan kembali ‘rumah’.