Kita tentu ingat lirik laku berjudul Harta Berharga. Ini adalah lagu tema dari serial televisi Keluarga Cemara, yang populer di era 1990-an, yang kemudian dibuat versi layar lebarnya tahun 2018. Arswendo Atmowiloto adalah sosok yang merajut lirik lagu tersebut. Keluarga Cemara menceritakan nilai-nilai berharga yang didapatkan di dalam keluarga. Kehidupan keluarga yang sederhana tidak mengurangi nilai dan makna dari keluarga itu sendiri. Di dalam keluargalah kita belajar tentang mencintai, nilai-nilai hidup, karakter, saling peduli dan berkorban, berbakti, serta hal-hal baik lainnya. Di dalam keluarga juga kita merasakan kehangatan dan keberterimaan. Terkadang ketika kita berada di sekolah ataupun tempat kerja, kita mendapatkan banyak masalah dan tantangan. Namun, saat kembali ke rumah, kehadiran keluarga memberikan kita kehangatan dan kelegaan, dan kita pun siap untuk kembali menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan ini. Inilah idealnya keluarga, harta berharga yang sangat bernilai dan sulit untuk digantikan oleh harta semahal apapun. Sayangnya, tidak semua masyarakat Indonesia merasakan indahnya hidup berkeluarga. Banyak keluarga yang berantakan karena hubungan individu di dalamnya tidak harmonis. Suami-istri cekcok dan tidak saling percaya, orangtua dan anak tidak saling menyayangi. Orangtua disibukkan dengan pekerjaan. Anak lebih banyak bergaul di lingkungan luar dan terkadang justru belajar hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan buruk. Kemuktahiran teknologi yang seharusnya membawa manfaat justru membawa mudarat bagi keluarga. Orang tua dan anak sibuk dengan gadget masing-masing. Fasilitas internet juga memudahkan orang mengakses berbagai informasi, baik yang berguna maupun yang tidak berguna. Hoax atau fakta. Kehangatan yang seharusnya diberikan oleh keluarga kini justru lebih didapatkan dari luar. Pendidikan moral dan karakter sejak dini yang seharusnya diberikan oleh orang tua, justru lebih dipercayakan kepada pihak sekolah. Demikian pula ragam urusan dari agama hingga beragam ketrampilan. Keluarga seharusnya menjadi tempat perlindungan di saat hidup terasa berat. Keluarga juga harus menjadi tempat belajar pertama tentang apapun bagi anak. Di dalam keluarga, anak belajar mengenal kehidupan dan memahami tentang hal yang baik dan berguna. Keluarga yang baik akan memberikan manfaat positif bagi lingkungannya. Membangun Indonesia harus dimulai dengan membangun keluarga yang baik dan ideal. Masyarakat harus kembali diingatkan bahwa keluarga memiliki peran vital membentuk moral dan karakter masyarakat, terutama anak yang menjadi generasi penerus bangsa. Binalah keluarga, maka nasib suatu bangsa pun akan terbina. Mari kembali kepada keluarga, karena itulah harta yang paling berharga bagi kita. **SMPS
Ayahku Orang Batak
Ayahku adalah deskripsi holistik jati diri orang Batak. Cerita hidupnya meletup-letup tak terduga. Terlahir di pangkuan bundanya yang miskin, alam berkonspirasi untuk membesarkannya. Sedari kecil ia bersahabat dengan sawah, jalan berkilometer jauhnya demi pendidikan, singkong, ikan asin, keringat yang tumpah ruah. Pernah ia menjadi orang upahan di ladang orang-orang, sebelum akhirnya memutuskan untuk merantau dalam usia belia. Kerja keras membentuk dirinya secara mental dan fisik, dan pada akhirnya jagad raya berpihak pada kesuksesannya, ia berhasil menjadi seorang militer saat ia masih di tahun kedua Sekolah Guru Olahraga. Ditempatkan di berbagai tempat yang berbeda-beda, ia tak keberatan, namun ia tak ingin menetap di Siantar, kampung halamannya. Ia mengelana sejauh yang ia bisa, mengikuti ujung ibu jari kakinya. Dan pada akhirnya ia bertemu dengan wanita yang membuat hatinya kelu – ibuku, yang pada saat itu adalah seorang guru di Sumbul. Setelah beberapa kali berpindah-pindah, akhirnya mereka menetap di Sidikalang. Sebagai seorang militer, ayahku ikut berperang dalam operasi militer. Berapa kali persisnya, aku tak terlalu yakin. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Ke Timor Timur – sekarang Timor Leste – dan ke Aceh. Kupikir itulah alasan mengapa ayahku mengerti entah bahasa apa yang digunakan di Timor Timur. Pernah kupergoki ayahku menonton siaran televisi, jenis siaran yang pasti bakal dilewatkan orang-orang karena bahasanya yang aneh, dan entah bagaimana ia mengerti. Bahkan saat abangku lahir, ayahku ikut operasi militer. Pada waktu-waktu tertentu aku membayangkan bagaimana ayahku terlibat dalam berbagai baku tembak, dan selamat, begitu menakjubkan. Pada tengah malam, saat kami berdua tak dapat terlelap, ayahku akan mulai bercerita tentang dirinya, perjuangan-perjuangannya dalam hidupnya. Kerap kali ia membanggakan six pack yang dulu ada di perutnya. Sekali waktu, ia bercerita tentang betapa cantik kuda cokelatnya di Timor Timur. Lebih dramatis, ia juga pernah bercerita bahwa dulu malarianya pernah kambuh, ia ditandu oleh teman-temannya ke atas gunung. Ia juga pernah mengenangkan teman-temannya yang gugur, lalu, entah hanya khayalanku saja, matanya sedikit berkaca-kaca. Setelah mendengar kisah hidupnya, baik dari dirinya sendiri, ibuku, nenekku, maupun paman dan bibiku, tak sedikit pun kuragukan ayahku saat aku berusaha mendeskripsikan seorang pria Batak. Aku mendeskripsikan melalui dirinya. Segala pengorbanannya, penderitaannya, jerih payahnya, kesuksesannya, dan ucapan syukurnya atas semua itu, aku tak bisa membayangkan yang lebih baik lagi. Saat ini, seperti orang-orang Batak lainnya, ayah menghabiskan sebagian besar waktu untuk menjamin anak-anaknya terdidik dalam cara yang baik, berkembang di dalam Tuhan, dan menjadi orang-orang Batak sejati. Ayahku menoleransi kegagalan, namun tidak mengindahkan keputusasaan dan kata-kata menyerah. Segala hal tentang dirinya menakjubkanku, dan inilah caraku mendeskripsikan orang Batak yang pekerja keras. **JS
Pendidikan Kaum Tertindas
“Semua ide besar selalu berbahaya,” demikian ucapan klasik Oscar Wilde. Menyimak ucapan itu, ‘bahaya’ yang segera terbayang mungkin berupa bahaya akan munculnya suatu gerakan revolusioner karena ide besar tersebut. Tak sepenuhnya salah. Namun bahaya lain, yang juga sering membumbui ide besar, adalah bahaya dimana ide tersebut disalah-arti oleh orang-orang yang bersemangat akannya. Akhirnya yang terlihat hanyalah sebuah gerakan distortif atas nama ide tersebut, atau malah sekedar penghargaan dan kritik, tanpa pernah mewujudkannya. Gambaran itu nampaknya berlaku pula untuk ide tentang pendidikan yang membebaskan. Dunia akademis Barat di dasawarsa 1970 hingga 1980-an (dan Indonesia sejak akhir 1980-an) dijumpai oleh sebuah tambahan khasanah baru untuk teori pendidikan kritis. Pelopornya adalah seorang doktor filsafat pendidikan, yang sukses dengan metode pemberantasan buta huruf di kalangan petani Brasil pada era 1960-an (ironisnya, sang guru besar malah terdepak dari negerinya, karena metodenya dinilai subversif oleh rezim yang baru). Adalah buku “Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed)” yang dianggap sebagai magnum opus untuk tambahan khasanah teori pendidikan tadi. Lalu apa jadinya teori itu? Sang doktor sendiri, Paulo Freire, mencatat banyak respon yang muncul atas karya besarnya ini. Baik dari kalangan liberal, Kristiani maupun golongan sosialis. Kritik tentu saja ada, namun kebanyakan perespon sangat bersemangat akan ide besarnya. Walau demikian, tidak sedikit yang hanya memakai ide-ide Freire untuk membenarkan asumsi mereka tentang pendidikan dan pergerakan. Atau sekedar bertepuk tangan atas idealismenya. Bahkan di Brasil dan kebanyakan negara yang rezimnya otoriter-kapitalis (termasuk Indonesia sebelum reformasi), ide-ide Freire seringkali ditolak dan dilarang tanpa pernah dicoba-selami. Kesetujuan orang atas Freire terutama sekali menyangkut kritik Freire atas metode pendidikan penindas yang disebutnya sebagai model pendidikan ‘gaya bank’ (yang hanya menjejali naradidik dengan bahan hafalan, lihat Bab 2 buku ini). Demikian pula banyak sekali orang tertarik akan metode yang digunakan Freire sehingga bisa membuat para petani mau belajar dan bisa membaca dalam waktu singkat. Minat juga tumbuh untuk unggahan ide Freire soal model pendidikan ‘hadap masalah’ (lihat Bab 3) sebagai jawaban kritiknya atas pendidikan ‘gaya bank’ tadi. Namun jika hanya sampai di situ, boleh dikatakan orang telah gagal dalam membaca Pendidikan Kaum Tertindas ini. Freire mencontohkan bagaimana kegagalan membaca itu ia jumpai sendiri. Dalam bukunya yang lain (Pedagogi Pengharapan, yang terbit 25 tahun setelah buku ini), ia menceritakan empat orang pendidik berhaluan sosialis di Jerman Timur (pada awal 1970-an) begitu bersemangat akan ide dalam Pendidikan Kaum Tertindas. “Anda harus membicarakan ini kepada masyarakat borjuis, mereka begitu menjajah dalam mendidik,” demikian kata para pendidik tadi, “Tapi tidak di sini. Di sini kami tahu apa yang harus diketahui oleh para siswa.”[1]. Jelas sekali mereka gagal dalam membaca maksud Freire, karena mereka hanya mengekalkan penindasan, yaitu pendidikan ‘gaya bank’ dalam bentuknya yang lain. Lalu bagaimana ‘seharusnya’ buku ini dibaca? F. Danuwinata benar ketika berpendapat bahwa Pendidikan Kaum Tertindas memang sulit untuk dicerna, namun penyelaman yang mendalam atas ide-ide Freire di buku ini akan menghasilkan timbaan inspirasi yang sangat besar (lihat Prawacana). Kegagalan orang dalam membaca karya besar ini umumnya dikarenakan kegagalan dalam menghayati hakikat pendindasan, hakikat harapan, konsep dialog dan terutama konsep praksis yang diunggah Freire. Maka dari itu kaum yang bermental penindas, orang yang kritis-apatis, orang yang berhasrat mendominasi dan orang-orang yang tak mau menyeimbangkan antara aksi dan refleksi hampir selalu dipastikan gagal dalam membaca Pendidikan Kaum Tertindas. Tepat di situlah keunikan karya ini! Meski sudah cukup klasik (pertama kali terbit dalam edisi Bahasa Portugis, tahun 1970), pembahasan Freire soal bagaimana pendidikan yang membebaskan memang akan selalu bernas. Dalam empat bab bahasan selepas pendahuluan, penyelamannya tentang hakikat penindasan (Bab 1) dan model pendidikan yang menindas (Bab 2), lalu model dialog (Bab 3) versus model antidialog (Bab 4) adalah hasil kesatuan sinambung antara aksi Freire di dunia pendidikan dan refleksinya akan dunia. LP3ES selaku penerbit untuk edisi Bahasa Indonesia juga memperkaya buku ini dengan menyertakan uraian F.Danuwinata sebagai prawacana dan terjemahan pengantar edisi Bahasa Inggris dari Richard Shaull. Hal yang sangat membantu untuk menghantar pembaca yang baru mau berkenalan dengan ide-ide Freire. Kelemahan yang boleh dijadikan catatan mungkin adalah simpati Freire yang agak berlebihan terhadap tokoh-tokoh revolusioner kiri. Beberapa kali Freire memang mengutip dengan takzim Che, Mao dan Lenin, namun tanpa menyinggung sisi buruk pergerakan mereka. Hal yang tentu agak mengganggu bagi pembaca yang kurang simpatik pada gerakan sosialis. Tapi sedari awal Freire sudah mengajak agar semua kalangan yang menganggap dirinya progresif, mau bersabar untuk terlibat dalam penyelaman ide pendidikan yang membebaskan ini, kemudian mengkritisinya, lalu merumuskan hal yang hakiki dalam pendidikan yang membebaskan. Di sinilah teori pendidikan kritis, tidak berhenti jadi sebuah teori yang dikagumi atau dibenci, namun mewujud menjadi praksis pendidikan yang membebaskan. Judul Buku: Pendidikan Kaum Tertindas Penulis: Paulo Freire Penerjemah: Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan LP3ES Penyunting Terjemahan: Imam Ahmad Penerbit: LP3ES
Politik Bermartabat Biografi I.J. Kasimo
Murnilah orang yang tidak mencari kekuasaan dan kekayaan. Lebih murni lagi orang yang punya kekuasaan dan kekayaan tetapi tidak korupsi. Mulialah orang yang tidak tahu bagaimana caranya memainkan siasat. Lebih mulia lagi orang yang mengerti siasat tetapi menolak untuk menggunakannya. – Vegetable Roots (abad ke-6) “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat jasa-jasa para pahlawannya.” Begitulah kutipan yang sering kita dengar. Namun harus diakui, bangsa kita sedang terjangkit penyakit ‘lupa’. Mudah bagi kita mengingat pejabat yang wara-wiri di media, atau kejadian kemarin sore. Namun peristiwa puluhan tahun lalu? Apalagi tak ada di buku wajib anak sekolah? Dijamin jawabannya tidak. Hal serupa saya alami ketika seorang sahabat menyodorkan buku coklat bertuliskan “Politik Bermartabat Biografi I.J. Kasimo”. Saya terdiam beberapa saat. Bukannya tidak tahu terima kasih, tetapi sedang mengingat-ingat siapakah gerangan I.J. Kasimo ini hingga dibuatkan biografinya? Orang macam apakah dia? Barangkali saya adalah bukti kerdilnya daya ingat pemuda masa kini, yang sebagian besar memorinya dijejali hal-hal lain. Barangkali saya termasuk mereka yang ‘kering’ ke-Indonesiaannya, sehingga wajah “bapak sendiri” tidak tahu. Saya jujur akui itu. Dengan semangat dan hati malu karena kerdilnya ke-Indonesiaan saya, buku itu saya lahap. Benar saja, saya tergagap-gagap menyaksikan sosok I.J. Kasimo dalam jas putih, kain batik, dan udheng dengan bahasa Belanda terpelajar berdebat di halaman sekolah Xaverius Muntilan. Saya terperanjat menyaksikan I.J. Kasimo dalam jajaran tokoh-tokoh sekelas Soekarno. Aha! Dia bukan bumiputera biasa. Aha! Dia bukan orang Katolik biasa. Dilahirkan di Yogyakarta, 10 April 1900, dari pasangan Ronosentiko dan Dalikem, Kasimo adalah anak keempat dari sebelas bersaudara. Ronosentiko adalah prajurit yang mengabdi di Keraton Kesultanan Yogyakarta, sedangkan Dalikem berjualan di pasar. Meski mereka dianggap priyayi, namun kehidupan mereka jauh dari definisi mewah dan berlimpah harta. Kehidupan semacam itu mengukuhkan ungakapan, “dadi priyayi kuwi garang ning garing” artinya “menjadi priyayi itu bergengsi tetapi miskin”. Dengan situasi yang priyayi namun miskin itulah, Kasimo tumbuh sebagai anak yang jarang bermain karena harinya dihabiskan antara membantu ibu, membantu kakek dan nenek lalu sekolah. Hal ini berlanjut hingga ia berjumpa dengan Romo Franciscus van Lith SJ yang mengajaknya melanjutkan sekolah di Muntilan. Sekolah ini adalah sekolah guru swasta yang diakui gubermen, sehingga lulusannya bisa dipekerjakan di lingkungan gubermen. Tanpa pikir panjang, Kasimo yang saat itu berumur dua belas tahun pamit pada ayah dan ibunya dan melanjutkan sekolah di Muntilan. Tanpa biaya, hidup berkecukupan, tidak perlu banting tulang membantu ibu, kakek dan nenek, ia hanya fokus sekolah. Di Muntilanlah kuncup-kuncup kecintaannya pada Indonesia tumbuh dan semakin lebat. Ia mengasah diri dengan membaca dan menajamkan diri dengan mengikuti klub diskusi. Ia belajar menyusun argumen logis dan menyampaikannya dengan jernih pada lawan bicaranya. Ia belajar menang tanpo ngasorake (menang tanpa merendahkan). Di Muntilan pula sikap hidup jujur, disiplin, dan sederhana namun berfaedah bagi sesama kelak akan sangat mendominasi karakter Kasimo. Di Muntilan pula ia berkarib dengan R.M. Djajoes (kelak menjadi Mgr. Adrianus Djajasepoetra, Uskup Jakarta, 1954-1970) yang duduk di kelas VI dan dengan Soegija (kelak menjadi Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Uskup Semarang, 1940-1964) pahlawan nasional yang saat itu duduk di kelas V. Lepas dari Muntilan ia pindah ke Bogor. Ia masuk sekolah pertanian di Bogor. Di kota ini ia pertama kali berhadapan dengan orang Belanda yang karakternya bumi dan langit dengan van Lith, sehingga Kasimo melawan si Belanda sok tuan besar itu. Alhasil ia dipindah ke Tegalgondo Kartasura untuk mengajar di sana. Karena kepala sekolahnya temannya sendiri maka tidak ada masalah besar ia pindah ke Tegalgondo. Pada bulan Agustus 1923 Kasimo bersama beberapa teman yang pernah sekolah di Kweekschool Muntilan yaitu CI. Soepardjo dan R.M. Jakob Soedjadi mendirikan Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Inilah perjuangan awal Kasimo di bidang politik. Hal ini tidak lepas dari kiprah Pater Jan van Rijckevorsel yang pada tahun 1909-1925 berkarya di Jakarta. Ia mengajak orang-orang Jawa untuk berorganisasi dan tidak terlena dengan kehidupan beragama yang terbatas sekitar altar, doa, dan ibadah. Biografi Kasimo ini agaknya mencoba menjelaskan argumentasi yang melatarbelakangi Kasimo dan teman-temannya, serta Pater Jan terjun dalam dunia politik, [D]alam keyakinan Katolik keterlibatan dalam dunia itu bukan sesuatu yang bersifat pilihan (opsional), tetapi imperatif, karena Tuhan sendiri peduli pada nasib manusia. Keterlibatan-Nya dalam sejarah manusia dimulai dengan kelahiran-Nya sebagai bayi yang tunawisma dilanjutkan dengan hidupnya sebagai seorang pembaru yang dianggap heretik, dan diakhiri dengan kematian-Nya sebagai seorang kriminal. Betapapun revolusionernya pembaruan yang diajarkan-Nya, Yesus bukan seorang yang menghendaki suatu “revolusi sosial”, berupa penjungkirbalikan struktur sosial masa itu, karena Yesus dalam ajaran-Nya menolak hukum-hukum revolusi. Dalam sebuah revolusi harus jelas perbedaan antara kawan yang harus dibela dan lawan yang harus disingkirkan, tetapi Yesus mengajari orang untuk mencintai musuh-musuh mereka. Pada Juli 1930, Kasimo diangkat menjadi anggota Volksraad atau dewan rakyat, yang dibentuk pada 16 Desember 1916 dan awalnya lembaga ini berperan sebagai penasihat. Namun sejak 1927, Volksraad memiliki kewenangan kolegislatif bersama gubernur jenderal yang ditunjuk Belanda. Padahal gubernur jenderal memiliki veto yang membuat kewenangan Volksraad makin terbatas. Dengan menjadi anggota Volksraad, setiap bersidang ia naik kereta ke Jakarta. Kelak sampai ia menikah dan sudah punya anak, rutinitas ini terus berlanjut. Pada19 Juli 1932, Kasimo berpidato di rapat Volksraad yang kemudian mengundang perdebatan dalam sidang: “Tuan Ketua! Dengan ini saya mengatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada di bawah kekuasaan negeri Belanda menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa, dan karena itu berhak memperjuangkan pengaturan negara sendiri sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan bangsa sesuai dengan kebutuhan nasional yaitu sesempurna mungkin. Ini berarti bahwa negeri Belanda sebagai negara berbudaya yang terpanggil mempunyai kewajiban untuk ikut mengembangkan seluruh rakyat, dan khususnya sebagai negara penjajah, mempunyai kewajiban untuk membimbing dan merampungkan pendidikan rakyat sehingga dengan demikian dapat dicapai kesejahteraan rakyat Indonesia, untuk kemudian dapat diberikan hak untuk mengatur dan akhirnya memerintah negara sendiri.” Pidato ini semakin mengukuhkan karakter Kasimo, sederhana namun jujur dan terlebih lagi berani. Ia juga pernah merasakan diangkut Jepang dan diperlakukan tidak manusiawi selama 53 hari. Kejadian ini menyebabkan ia mengambil keputusan yang sangat revolusioner: Kasimo membenarkan revolusi Indonesia. Ia juga memutuskan bahwa golongan Katolik Indonesia wajib ikut berjuang, bahkan jika perlu berkorban bagi revolusi. Pada tahun 1948, di tengah kondisi bangsa yang kekurangan pangan, Kasimo melahirkan “Kasimo Plan”. Semacam rencana swasembada pangan untuk produksi tiga tahun (1948-1950) sederhana,
Stop Bullying!
“Satu hal yang tidak tunduk oleh aturan mayoritas adalah nurani seseorang.” – Harper Lee, To Kill a Mockingbird “Akan selalu kuingat, dan tak akan pernah kulupa, Senin: uangku diambil, Selasa: namaku diolok-olok, Rabu: seragamku dirobek-robek, Kamis: tubuhku bersimbah darah, Jumat: semua berakhir, Sabtu: kebebasan.” Akhir lembaran buku harian Vijay Singh, 13 tahun. Ia ditemukan menggantung diri pada pegangan tangga di rumah pada hari Minggu. Membaca awal dari pengantar buku karya Barbara Coloroso ini, membuat saya bergidik dan miris. Membayangkan jika hal itu menimpa anak saya. Ini baru di awal kata pengantarnya. Berikut tiga kisah nyata dari sekian banyak peristiwa tercatat dalam Pengantar yang berakhir dengan tragis. 14 November 1997; Victoria, British Columbia: Reena Virk, 14 tahun, tewas setelah dijadikan bulan-bulannan oleh rekan-rekan sekolahnya. Ia diserang dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Tangan, leher, dan punggung Reena dipatahkan dengan sengaja sebelum akhirnya ia dibuang ke jurang. November 2001; Tokyo, Jepang: Seorang siswa laki-laki SD menikam penyiksanya dalam sebuah upaya untuk mengakhiri ijime (penindasan). 7 Maret 2001; Williamsport, Pennsylvania: Elizabeth Bush, seorang siswa kelas 2 SMP yang berusia 14 tahun, membawa senjata ayahnya ke sekolah dan menembaki serta melukai seorang teman yang dituduh mengkhianati dan telah bergabung dengan para penyiksanya yang kerap memanggilnya idiot, bodoh, gemuk dan jelek. Rentetan peristiwa di atas memang terjadi di luar negeri, namun coba kita simak beberapa peristiwa berikut ini. Pertengahan Agustus 2007; Pondok Labu, Jakarta Selatan: Muhammad Fadhil, 16 tahun, siswa SMA 34 ini jadi korban kekerasan oleh geng Gazper. April 2007; SMU Pangudi Luhur: Blastius Adisaputro, 17 tahun, babak belur karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh seniornya. 28 November 2006; Cijantung, Jakarta Timur: Bobi, 9 tahun, siswa SD Islam Sudirman ini mengalami luka-luka pada mulutnya akibat dilakban oleh gurunya hanya karena sering bercanda di kelas. 28 Juli 2004; Semarang: Muhlisin, seorang taruna semester III SMK Pelayaran, dipukuli oleh seniornya gara-gara tak melapor saat absen. Februari 2008; Jakarta: Sri Pratiwi, siswi SMPN 282 Jakarta, digampar guru Bahasa Inggris karena dianggap tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Dan mungkin masih banyak segudang catatan kelam lainnya yang bisa kita telusuri menambah daftar di atas. Faktanya, sekolah seakan bukan lagi hal yang menyenangkan. Dunia anak-anak seakan penuh ancaman dan tekanan. Bahkan menurut Coloroso, penindas, pihak yang tertindas dan penontonnya adalah tiga karakter dalam sebuah drama tragis yang dimainkan di rumah, sekolah, taman bermain, dan jalan-jalan. Sebuah drama banyak versi dengan tema tragis yang itu-itu saja, dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda, mengenakan kostum yang berbeda-beda, menyitir baris kalimat yang berbeda-beda. Barbara Coloroso, melalui bukunya “Stop Bullying!” yang diterjemahkan oleh penerbit Serambi, dengan gamblang memaparkan dari sisi psikologis dan praktis bagaimana kita (para guru dan orang tua khususnya), menyikapi anak-anak yang berperan sebagai penindas, tertindas dan penonton. Penulis, berdasarkan pengalamannya, memaparkan: Tiga jenis penindasan Perbedaan antara penindasan anak laki-laki dan anak perempuan Empat kemampuan yang menghindarkan anak Anda dari status “korban penindasan” Tujuh langkah solusi bila anak Anda seorang penindas Cara membantu menyembuhkan anak tertindas dan mendisiplinkan anak penindas Cara mengevaluasi “kebijakan-antipenindasan” sekolah dan kebijakan anti perilaku menyimpang lainnya Menarik dalam Bab ‘Dari Penonton Menjadi Saksi’ dikutip sebuah kisah heroik yang dilakukan Vishing Rathod, seorang Hindu di Ahmadabad, India. Menjadi penonton, biasanya adalah peran yang paling sering kita minati dengan berbagai alasan. Padahal tidak ada penonton – dalam kasus penindas dan tertindas – yang tidak bersalah. Rathod tidak tega mendengar jeritan tetangga-tetangga Muslimnya yang dipukuli dan dibakar hidup-hidup. Bersama kedua puteranya, mereka melompat ke atas sebuah truk, tersuruk-suruk mencari jalan untuk melewati para perusuh Hindu yang mengamuk, dan mulai menarik para Muslim dari bara api. Pada malam itu ia menyelamatkan 25 umat Muslim dan sejak itu menginapkan lusinan lainnya dalam rumah-rumah perlindungan di sepanjang Ahmadabad, yang telah ditelan oleh kekerasan Hindu-Muslim yang menewaskan 544 jiwa. Ia mengangkat bahu ketika ditanyai apakah ia seorang pahlawan. “Saya melakukannya demi kemanusiaan, karena dalam hati saya tahu itulah hal yang benar untuk dilakukan.” Tentu saja, dengan membaca buku ini, para orang tua (dan guru) pun harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap kebiasaan memperlakukan anak-anaknya. Jangan-jangan kita sedang membentuk mereka memainkan peran dan karakter penindas, yang tertindas dan menjadi penonton! Judul buku: Stop Bullying! Penulis: Barbara Coloroso Penerbit: Serambi ISBN: 979-16-0111-9 Halaman: 392 hal. Ukuran: 13 x 20 cm Terbit: Juni 2006
The Little Prince
Jika ditanya, “Buku apa yang sebaiknya saya baca?” Oleh orang lain, baik ia orang yang suka membaca atau tidak. Maka buku inilah yang pertama yang akan saya anjurkan, bahkan untuk orang yang sudah membacanya. Ya, buku itu sebegitu bagusnya sehingga saya memutuskan untuk, juga, mengupas buku ini sebagai resensi di FOKAL.info. Sulit untuk mengkategorikan buku ini, kita bisa masukkan dia ke dalam buku anak-anak namun tidak salah juga untuk memasukkannya ke dalam kategori dewasa. Kategori anak-anak karena bercerita dengan sangat sederhana dan jumlah tokoh yang sangat sedikit. Namun begitu banyak lapisan dari buku ini yang hanya bisa dimengerti pikiran dewasa. Jika pernah membacanya ketika masih kecil, saya sangat anjurkan untuk membaca ulang sekarang dan lihatlah betapa banyak lapisan baru yang bisa kita temukan di dalamnya. Untuk yang belum pernah membacanya, biarlah saya menceritakan sedikit tentang buku ini. Ada dua tokoh utama di buku ini: Sang Pangeran dan Si Pilot. Mereka bertemu di Gurun Sahara ketika Si Pilot terdampar di sana dengan bekal air minum untuk satu minggu. Keseluruhan buku ini adalah dialog dari mereka berdua, atau lebih tepatnya usaha Si Pilot untuk mengerti tentang Sang Pangeran Kecil yang berasal bukan dari bumi ini. Melalui dua tokoh utama ini Antoine de Saint-Exupéry, pengarang buku ini, mengkritik dunia orang dewasa, terutama di dalam kisah perjalanan Sang Pangeran untuk sampai ke bumi ini. Dan menurut saya, melalui mulut dan kisah Sang Pangeran juga si pengarang bercerita secara implisit tentang diri dan hidupnya sendiri, serta tentang pandangan hidupnya. Kritik-kritik ini diceritakan dengan menarik dari sudut pandang kepolosan seorang anak. Suatu sifat yang mungkin menurut kita orang dewasa sebagai hal yang tidak berguna dan cenderung kita lupakan. Namun kita lupa bahwa kepolosan ini yang membuat kita mempunyai imajinasi yang sering kali hilang dari dalam diri kita yang sudah dewasa ini. Dan itu juga rasanya syarat utama untuk menikmati buku ini: imajinasi, kreativitas. Dengan membuang segala ketidakmungkinan yang muncul dalam otak kita sebagai orang dewasa ketika membaca cerita demi cerita di dalamnya, baru kita bisa menemukan lapisan baru. Sebuah pengertian baru, momen pencerahan yang polos dan sederhana, yang biasa kita lihat di dalam diri anak kecil ketika melihat pelangi. Betapapun sederhananya fenomena pelangi itu dapat dijelaskan sebagai fenomena ilmu pasti dalam pikiran orang dewasa. Sebagai catatan tambahan: resensi ini saya buat berdasarkan pengalaman saya membaca versi terjemahan bahasa Inggris, sehingga saya tidak tahu persis bagaimana pengalaman membaca buku ini dalam saduran bahasa Indonesia. **BDL Judul Buku: Pangeran Kecil – The Little Prince Pengarang: Antoine de Saint-Exupery Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Tebal Buku: 112 Halaman
Untuk Indonesia yang Kuat, 100 Langkah untuk Tidak Miskin
Banyak cara berkontribusi bagi kemajuan dan keutuhan negeri ini. Ternyata salah satunya adalah dengan tidak miskin. Jangan mencibir atau mengerutkan kening dulu. Istilah tidak miskin itu sebenarnya menggambarkan kondisi keuangan yang terencana dengan baik, sehingga mampu memberikan keamanan finansial hingga hari tua. Kondisi keuangan yang sehat ini akan memampukan kita, bagian dari masyarakat Indonesia, untuk menjaga daya beli bangsa, berinvestasi di negeri sendiri, serta menolong sesama yang belum seberuntung kita dalam hal keuangan. Secara umum, itulah alasan Ligwina Hananto menulis buku ini. Sebagai seorang yang ahli di bidang keuangan, khususnya konsultasi keuangan pribadi. Berapa banyak dari kita yang mengerti apa tujuan menghasilkan dan (mungkin) menyimpan uang setiap bulan? Pernahkah kita mendengar keluhan di tengah keluarga besar kita mengenai biaya pendidikan yang terus meninggi? Berapa banyak dari kita yang berpikir untuk menginvestasikan uang? Lalu, pernahkah anda dan saya, atau keluarga kita merasa terbebani dengan keluarga besar atau tetangga yang harus meminjam uang dalam jumlah besar? Ligwina menjelaskan dengan cara yang tidak sulit dimengerti apa saja yang harus diketahui mengenai pengelolaan serta tujuan mengelola uang. Ia menantang pandangan umum kita tentang menabung, menjelaskan langkah membuat rencana keuangan, memulai investasi, hingga mencapai kebebasan finansial. Semua untuk satu tujuan: Indonesia yang lebih kuat. Yang menarik dari buku ini, paparan Ligwina mengenai pengelolaan keuangan yang terasa “sangat Indonesia”. Buku keuangan mana yang dalam pengelolaan keuangan pribadi mempertimbangkan kebiasaan masyarakat Indonesia saling menolong family dalam hal keuangan? Tidak cukup jika hanya satu orang saja yang mengelola keuangan pribadinya dengan baik. Dibutuhkan partisipasi dari banyak orang, termasuk kita, kaum muda yang mulai memiliki penghasilan sendiri, untuk menjaga dan memperkuat Indonesia dari sisi keuangan. Tidak perlu khawatir bahwa mengelola keuangan itu sulit. Fokus pada tujuan besar kita, dan mengutip kata-kata Ligwina Hananto dalam bukunya ini, “Kalau sulit, ya belajar!” **ERS