“Untuk melakukan transformasi digital, negara kita membutuhkan talenta digital kurang lebih 9 juta orang untuk 15 tahun ke depan. Ini perlu betul-betul sebuah persiapan.” Presiden Joko Widodo mengungkapkan hal tersebut saat membuka rapat terbatas Perencanaan Transformasi Digital, Senin (3/8). Menurutnya, masa pandemi ini telah mengubah secara struktural, cara kita bekerja, beraktivitas, konsumsi, belajar hingga bertransaksi. Untuk itu diperlukan sekian banyak talenta digital di berbagai bidang demi menyongsong dan mendorong transformasi digital. Penyediaan talenta dalam jumlah besar, merupakan satu dari empat langkah yang disebutkan presiden sebagai strategi meningkatkan daya saing digital. Hal lain yang paling genting adalah mempercepat akses digital dan meningkatkan infrastruktur, termasuk layanan internet tiap daerah serta titik pelayanan publik di Indonesia. Selain itu diperlukan kolaborasi agar bisa mematangkan peta jalan transformasi digital pada seluruh sektor strategis. Sektor-sektor tersebut meliputi pemerintahan, sosial, layanan publik, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, dan sektor penyiaran atau media. Yang tak kalah penting setelah pemetaannya jelas adalah mempercepat integrasi pusat data nasional. Lalu untuk mengisinya tentu diperlukan penyediaan sumber daya manusia atau talenta digital. Serta perlunya menyederhanakan regulasi serta skema pendanaan bagi industri digital dan seluruh sektor yang menjalankan transformasi digital. Saat ini, daya saing digital Indonesia terlihat masih kalah dari negara tetangga di Asia Tenggara. Hal ini terindikasi dari data International Institute for Management Development (IMD) terkait World Digital Competitiveness. Dimana ranking daya saing Indonesia di sektor digital dunia pada tahun 2019 ada di peringkat 56 dari 63 negara. “Ini memang kita di bawah sekali. Lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga kita di ASEAN. Misalnya Thailand di posisi 40, Malaysia 26, Singapura nomor 2,” ujar Jokowi. Dalam konteks penyediaan talenta digital, target ini berarti Indonesia harus mempersiapkan paling tidak sekitar 600.000 talenta digital yang mumpuni setiap tahunnya. Presiden yakin, meski pandemi telah banyak mengganggu kinerja ekonomi dan banyak aspek lain, hal ini juga membawa berkah lain semakin mendorong banyak orang untuk siap menyongsong era transformasi digital. **RS
Cerita Tempe: Makanan Penyelamat Asli Indonesia
Pieter Anton Roelfosen adalah satu dari sekian banyak warga Belanda yang menjadi tahanan perang di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia dan sejumlah rekannya ditahan di penjara Cipinang, Jakarta, sejak tahun 1942. Situasi pada masa itu jelas tidak mengenakkan buat mereka. Jepang yang sedang sibuk jelang akhir Perang Dunia II, hampir tidak menghiraukan nasib para tahanan. Kekurangan ransum makanan, menyebarnya penyakit, serta minimnya fasilitas kesehatan adalah kenyataan keseharian yang dihadapi tiap tahanan tadi. Beruntung, Roelfosen memperoleh produk penyelamat. Ia berhasil meniru teknik fermentasi kedelai menjadi tempe dari penduduk pribumi. Dengan jumlah kedelai dan ragi seadanya, mereka bisa beroleh asupan gizi yang setidaknya memampukan diri bertahan hidup. Saat kembali ke Belanda, Roelfosen kemudian mempublikasikan teknik tersebut dalam jurnal teknologi pangan pada tahun 1964. Inilah yang kemudian memperkenalkan tempe ke publik Belanda. Makanan ini kemudian populer di kalangan imigran asal Jawa, juga warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia. Perlahan, tempe semakin populer di Eropa bahkan mencapai Britania Raya dan Amerika Serikat. Negara-negara Asia Timur, terutama Jepang pun mulai menggemari tempe, selepas 1980-an. Meski kedelai bukan tanaman endemik Nusantara, namun teknik pengolahannya menjadi tempe boleh dikatakan teknologi asli bangsa ini. Nenek moyang kita baru mengenal budidaya kedelai setelah diperkenalkan oleh pedagang India dan Tiongkok. Akan tetapi, di wilayah-wilayah asal kedelai ini tidak ada teknik fermentasi seperti pada tempe. Tempe sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat Suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam manuskrip Serat Centhini, misalnya, digambarkan masyarakat Jawa abad ke-16 telah mengenal tempe sebagai salah satu makanan yang biasa dikonsumsi. Catatan sejarah lain menunjukkan kemungkinan, awalnya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16. Sampai saat ini kebanyakan tempe masih diolah dengan teknik tradisional Indonesia yang secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi. Modifikasi teknik baru dilakukan terkait higienitas pembungkus, juga proses pengasaman. Sebab di negara-negara sub-tropis umumnya kedelai yang direndam tidak langsung menjadi masam. Demikian pula perkembangan jamur raginya tidak semudah di wilayah tropis. Yang jelas, tempe yang pernah menjadi penyelamat dari bahaya kelaparan itu, kini makin mendunia. **RS
Gol Tangan Tuhan: Drama yang Tak Mungkin Terulang
“Gol itu terjadi sebagian karena kepala Maradona, sebagian lagi karena tangan Tuhan.” Demikian Diego Maradona berkomentar seusai pertandingan perempat final Piala Duni 1986 antara Argentina melawan Inggris. Kalimat bersayap itu mengindikasikan sejak awal sang dewa sepak bola memang mengakui kalau ia mencetak gol dengan tangannya. Meski pengakuan eksplisit baru ia sampaikan belasan tahun kemudian. Pertandingan yang berlangsung tepat 34 tahun lalu, 22 Juni 1986, memang menjadi salah satu drama terbesar di dunia sepak bola. Terlalu banyak cerita yang membumbui terjadi langsung di laga ini. Bumbu Sebelum Pertandingan Bumbu pertama tentu saja, perseteruan Inggris dan Argentina di dunia sepak bola bermula sejak 20 tahun sebelumnya, saat si putih biru langit dikandaskan Inggris di perempat final Piala Dunia 1966. Waktu itu, pemain Argentina menilai wasit yang mempimpin pertandingan, Rudolf Kreitlein, asal Jerman cenderung bias dan berpihak pada Inggris, sang tuan rumah. Protes dan kecaman itu memicu kemarahan manajer timnas Inggris, Alf Ramsey. Ia menyebut skuad Argentina bertingkah seperti hewan. Komentar yang kemudian dianggap rasialis dan sangat menyakitkan fans Argentina. Yang kedua adalah bumbu berbalut politik. Argentina dan Inggris terlibat bentrok senjata dalam perebutan Kepulauan Falkland atau Malvinas pada 1982. Argentina kalah dalam bentrok militer ini, namun menyisakan dendam mendalam pada Inggris. Dengan sentimen-sentiman tadi, pertandingan yang berlangsung di Estadio Azteca, Mexico City ini pun jadi panas. Ada semangat ‘balas dendam’ yang menguasai fans tim Tango, apalagi lokasi piala dunia kali ini tidak jauh dari Argentina. Disahkannya Gol Tangan Tuhan Laga memang terbilang sangat seru. Selama 45 menit babak pertama kedua kesebelasan bermain imbang tanpa gol. Meski mendominasi, Argentina kerepotan dengan pertahanan rapi The Three Lions dan serangan balik yang tiba-tiba. Lepas turun minum, Argentina semakin intens melakukan serangan. Di sekitar menit 50 Maradona menggiring bola dari luar kotak pinalti dan mengoper ke rekan setimnya, Jorge Valdano. Valdano berupaya melewati pertahanan Inggris namun dipotong oleh bek Inggris, Steve Hodge. Bola sapuan Hodge kemudian melambung dan mengarah ke gawang Peter Shilton yang berhadapan dengan Maradona. Secara teknis tentu ini keuntungan bagi Shilton. Tingginya 20 cm lebih dari Maradona, ia pun boleh menghalau bola dengan tangan. Tapi semua orang akhirnya tahu apa yang terjadi. Maradona melompat seolah hendak menyundul, padahal memukul bola dengan tangannya. Wasit asal Tunisia, Ali Bennaceur, mengesahkan gol tersebut setelah berkonsultasi dengan asistennya. Maradona sendiri awalnya agak canggung dalam selebrasi, ia baru benar-benar merayakannya saat wasit mengesahkan. Gol Terbaik Sepanjang Masa Fans sepak bola sedunia mungkin akan selamanya menghujat Argentina dan bersimpati pada Inggris, jika ini jadi gol satu-satunya sepanjang laga. Tapi peristiwa empat menit berikutnya membuat hal itu urung terjadi. Menerima operan gelandang Hector Enrique, Maradona berlari sembari menggiling bola selama 10 detik, sepanjang 55 meter. Dia menggocek empat pemain Inggris lalu kemudian penjaga gawang, untuk menyarangkan bola yang menjadi salah satu gol terbaik sepanjang masa. Siapapun yang melihat kesaktian seni driblling seperti itu pasti terpukau. Itu adalah atraksi yang tidak mungkin dikomentari tanpa pujian. Gol Gary Lineker, satu-satunya balasan Inggris di menit ke-81 rasanya benar-benar sekedar hiburan tak penting. Inggris tidak hanya kalah dengan skor 1-2, tapi kalah lewat dua gol yang penuh drama. Dendam Argentina pun terasa tuntas. Apalagi di Piala Dunia ini, mereka keluar sebagai kampiun. Tentu saja, ini menggurat dendam baru di kubu Inggris. Glen Hoddle, pemain Inggris yang kemudian menjadi pelatih di Piala Dunia 1998, mengaku saat anak asuhnya berhadapan dengan Argentina kembali, bayang-bayang kemarahan atas gol Maradona tetap menghantuinya. Wajar saja, drama seperti ini mungkin tak pernah lagi bisa diulang. **RS
Butet Manurung: Pelopor Pendidikan di Pedalaman Indonesia
Rasanya sudah banyak tulisan dan publikasi yang mengangkat Butet Manurung. Orang juga mungkin sudah sangat tahu soal Sokola Rimba, institusi pendidikan alternatif di rimba hutan Bukit Dua Belas Jamb. Kisah perjuangan Butet merintis pendidikan bagi suku Anak Dalam ini bahkan telah diangkat dalam film drama di November 2013, yang disutradai Riri Riza dan dibintangi Prisa Nasution. Kisahnya berawal ketika Butet membaca sebuah iklan dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Informasi Konservasi (Warsi) yang isinya mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli hutan Jambi, Suku Anak Dalam, atau mereka menyebut diri sendiri sebagai Orang Rimba. Tahun 1999, Butet bergabung dengan LSM Warsi. Ia tidak langsung melakukan kegiatan belajar mengajar. Selama tujuh bulan mahasiswi Universitas Padjadjaran Bandung ini melakukan pendekatan dan riset mengenai kehidupan dan kebiasaan orang rimba. Niat tulus yang dibawanya dari kota untuk memberikan pendidikan bagi orang rimba tidak berbanding lurus dengan respon yang didapat ketika berada di lapangan. Berbagai penolakan dan hal-hal yang tidak terduga seolah datang bergantian untuk menguji keteguhan hatinya. Masuk ke kehidupan mereka adalah hal yang sangat sulit pada awalnya, Orang Rimba percaya bahwa Orang Terang (cara orang rimba menyebut orang luar) membawa banyak penyakit dan kesialan bagi mereka. Bahkan, ketika salah satu dari orang rimba sakit, seringkali mereka menyebut Butet adalah sumber penyakit tersebut. Pada kesempatan lain, Butet menyampaikan bahwa tujuan mereka hadir adalah untuk mengajar baca, tulis dan berhitung bagi anak rimba. Namun, orang rimba dengan tegas menolak bahwa membaca dan menulis melanggar adat. Bagi mereka pena adalah iblis bermata tajam. Hal ini bukan tanpa alasan, bagi mereka bertemu dengan orang terang yang menggunakan pena menjadikan mereka menderita kesialan. Orang rimba sering kali ditipu dan diusir dari tempat mereka tinggal lantaran menandatangani perjanjian yang berujung pada penggusuran mereka dari wilayah mereka tinggal. Hal ini terjadi karena orang rimba tidak bisa membaca dan mengerti isi dari perjanjian tersebut. Ketika dihadapkan pada situasi tersebut tak satu orangpun yang membantu orang rimba. Ini menjadi titik tolak, Butet semakin bertekad untuk mengajarkan baca dan tulis kepada orang rimba. Hal ini sangat penting agar mereka bisa mempertahankan haknya dan membela nasib sendiri. Penolakan yang dihadapinya tak lantas membuat semangatnya surut, dia tetap melakukan pendekatan sampai akhirnya layak dan dianggap menjadi bagian dari keluarga rimba. Perjuangan Butet Manurung untuk menembus hutan di pedalaman Jambi serta memberikan waktunya bertahun-tahun mengajar orang rimba berbuah manis. Lebih dari 10.000 orang rimba baik dewasa maupun anak-anak menjadi muridnya di Sokola Rimba. Tak hanya membaca, menulis dan berhitung, kini orang rimba pun berhasil mengaplikasikan ilmu tersebut ke kehidupan sehari-hari terutama ketika bersinggungan dengan dunia luar. Tak berhenti disana, Butet ingin kehidupan Orang Rimba semakin diperhatikan. Ia pun menuliskan kisahnya tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba, ini yang mendasari film dengan judul serupa. Sokola Rimba kini tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Setidaknya hingga 2019 ada 16 titik dimana sekolah ini bereksperiman. Diantaranya di Flores, Halmahera, Bulukumba, Pulau Besar, Gunung Egon, Yogyakarta, Makassar dan Sumba. Tujuannya masih sama, untuk membantu mereka yang tinggal di pedalaman mempertahankan haknya dan hidup nyaman di tanah mereka. Dedikasi dan kerja keras perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini pun telah diganjar ragam penghargaan. Mulai dari Man and Biosphere Award dari LIPI dan UNESCO Indonesia (2001), TIME Magazine’s Heroes of Asia (2004), Young Global Leader oleh World Economic Forum, Social Entrepreneur of the Year oleh Ernst and Young, dan terakhir Ramon Magsaysay Award (2014). Butet telah berhasil menerobos berbagai ketidakadilan yang dirasakan oleh Orang Rimba. Sosok ini yang tentu masih kita harap muncul bagi banyak wilayah lain di negeri ini. Kita tetap butuh inspirasi dari individu dengan tekad kuat, serta tulus yang bahkan merasakan jantungnya berdebar sangat kencang dan berontak ketika saudaranya menjadi korban ketidakadilan. **RS
Tatanan Hidup Suku Kei
Kepulauan Kei. Pasti banyak yang asing dengan tempat ini. Atau mungkin langsung ingat sosok John Kei dan nama preman lain yang memberi kesan keras dan sangar. Padahal Kei adalah gugus pulau eksotis. Terletak di tenggara Provinsi Maluku, dengan dua wilayah administratif, Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Masyarakat Kei mungkin satu-satunya suku yang bertahan hidup dengan mengkonsumsi enbal. Enbal adalah jenis ”singkong beracun” (Manihot duleis). Sejak ratusan tahun lalu, para leluhur Kei berhasil menerapkan fermentasi yang menjinakkan racun tersebut. Enbal kemudian dijadikan makanan khas sumber karbohidrat. Totalitas hidup suku Kei adalah ketika hukum adat, Larvul Ngabal, mampu diimplementasikan di setiap sendi kehidupan. Hukum ini adalah gumulan panjang mengenai kebaikan dan kelangsungan peradaban. Secara etimologi, hukum ini berasal dua kata, yakni Larvul yang berarti darah dan Ngabal yang berarti tombak. Larvul Ngabal merupakan simbolisasi diri manusia, yang menyatakan penolakan terhadap kekacauan sosial dan kesewenang-wenangan. Hukum ini punya wibawa tinggi dan dipakai untuk menuntut setiap orang yang melanggarnya. Yang dipercaya untuk melaksanakan peradilan terhadap pelanggaran hukum ini adalah raja-raja wilayah kepulauan Kei. Terkadang ini yang menyebabkan pemerintah agak kesulitan dalam membangun sistem perekonomian. Energi masyarakat dihabiskan untuk mengurusi hak-hak ulayat, batas tanah, serta persoalan adat. Kearifan lokal sejatinya menjadi kekuatan untuk membangun peradaban masyarakat lewat berbagai pemberdayaan yang dilakukan. Bukan mengungkung diri dari kemajuan peradaban dan teknologi. Harmonisasi spirit kebudayaan dan alam Kei harus mampu dikelola dengan baik sebagai identitas karakter. Nilai positifnya, masyarakat Kei belum menjadi sekedar komoditas pasar, karena kegigihan mereka memegang teguh Larvul Ngabal. Adat memang tidak punya struktur kuat seperti pemerintah, tetapi punya kekuatan dan eksistensi. Adat harus dilihat sebagai anak sulung, bukan menjadi anak tiri di tanah air sendiri. Adat harus menjadi jati diri bagi agama dan hati nurani bagi sebuah pemerintahan. Kei mengajak kita untuk pulang sebentar ke rumah. Di rumah kita tersedia keanekaragaman tatanan hidup. Ambillah harta warisan tadi dan harmonisasikan dengan arus globalisasi niscaya arus itu akan menghidupkan dan bukan menenggelamkan. **AB
Merintis Usaha Tambahan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 mengharuskan warga untuk tinggal di rumah. Kami di Bandung misalnya, sudah stay at home sekitar enam minggu. Salah satu yang dapat saya amati selama ini, terutama di media sosial, adalah maraknya beberapa teman yang mulai berjualan. Seorang rekan saya, yang biasa menjahit baju pesta beralih membuat masker kain, kemudian menjualnya. Ada pula yang meracik hand-sanitizer sendiri. Malah ada yang kembali menekuni hobi lama membuat sejumlah kue kering dan produk makanan lain. Banyak alasan yang mendorong mereka memulai usaha ini. Karena kurang atau tidak adanya pemasukan akibat dirumahkan. Juga karena order yang biasa mereka dapat, sekarang terhenti. Namun, ini juga berarti banyak teman-teman yang ternyata punya potensi. Mungkin selama ini belum tergarap. Dan hebatnya lagi, ternyata karya mereka bisa dijual. Merintis usaha dari rumah di tengah situasi seperti sekarang mungkin tidak mudah. Apalagi buat mereka yang selama ini lebih banyak beroleh pemasukan dari kerja di luar usaha tersebut. Sebagai seorang yang sudah sekitar enam tahun menjalankan usaha makanan dari rumah, saya dapat merangkum sejumlah tahapan yang dapat dipertimbangkan saat memulai usaha. Pertama, kita perlu dengan spesifik menentukan produk yang akan dibuat. Jika memungkinkan pilihlah satu jenis produk yang sudah pernah dibuat dan Anda kuasai cara membuatnya. Itu akan mempermudah proses selanjutnya. Kedua, yang tak kalah penting, adalah mendaftar dan menentukan peralatan yang diperlukan. Sedapat mungkin pakailah peralatan yang ada dan sudah kita miliki. Tidak perlu buru-buru membeli yang baru. Ini untuk mengurangi biaya yang tidak perlu. Ketiga, setelah kita mantap dengan produk dan sarana produksi, kita perlu menghitung dengan saksama modal yang diperlukan dan memperkirakan harga jual. Penting sekali untuk dengan rinci menghitung harga bahan yang kita gunakan untuk membuat produk lalu menjumlahkannya dengan biaya bahan baku, bahan bakar dan biaya-biaya lainnya. Jangan sampai ada yang terlewat. Ini penting agar perhitungan harga jual kita sesuai kemampuan dan kebutuhan. Keempat, kita perlu memikirkan sarana pemasaran produk. Memang sekarang ini terbilang lebih mudah. Kita dapat memulainya dengan lingkaran pertemanan di media sosial. Juga masuk ke dalam platform situs jual beli. Disini, kemampuan networking menjadi sangat perlu. Jika selama ini kita banyak jejaring pertemanan, itu merupakan modal yang sangat baik. **IA
Kuliah Luar Negeri bukan Sekedar Jalan-Jalan
Bapak saya pernah belajar di Universitas Southampton, Inggris. Itu yang membuatnya berkesempatan berjalan-jalan di Eropa daratan ketika masa liburan kuliah. Foto-foto dari berbagai negara menjadi bukti petualangannya di sana. Tapi Bapak kerap menceritakan sisi lain. Kuliah di luar negeri buatnya bukan sekedar jalan-jalan atau belajar. Yang lebih utama adalah soal beradaptasi dan bertahan hidup. Perubahan iklim, perbedaan kebudayaan, dan variasi makanan menjadi tantangan sehari-hari ketika berada di sana. Alasan orang untuk menempuh studi di negeri luar tentu berbeda-beda. Sebagian merasa pendidikan di luar negeri lebih baik dibandingkan Indonesia. Sebagian karena disemangati oleh keluarga yang sudah berada di sana. Sebagian lagi mungkin ingin memuaskan dahaga petualangannya. Terlepas dari alasan pribadi, banyak hal yang disiapkan sebelum berjuang di negeri orang. Misalnya saja, kemampuan bahasa asing. Selain Bahasa Inggris, yang menjadi syarat mutlak, ada baiknya kita juga belajar memahami bahasa nasional dari negara yang akan kita tuju. Tak hanya itu, pengetahuan kita mengenai kondisi sosial dan budaya negara tujuan juga menjadi hal penting. Peribahasa “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung” menjadi panduan kita, agar dapat bertahan selama menempuh proses studi. Rasa rindu terhadap keluarga dan kampung halaman juga menjadi tantangan tersendiri. Meski teknologi bisa membantu kita untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman yang jauh, tetap saja kerinduan itu akan menyerang. Ada baiknya kita membawa benda ataupun hal lainnya yang dapat melepas rindu. Selain persiapan untuk berangkat, ada hal-hal lain yang juga perlu diketahui ketika berada di negeri orang. Studi di luar negeri adalah kesempatan untuk menambah kolega dan memperluas jaringan. Sadar atau tak sadar, pertemanan yang dibangun akan akan bermanfaat bagi kita di masa depan. Hal lain yang perlu diketahui juga adalah tawaran kerja selepas lulus studi. Banyak rekan kita yang mengambil tawaran ini, namun tak sedikit juga yang memilih kembali ke Indonesia. Apapun pilihannya, itu adalah sikap dari tanggung jawab kita kepada keluarga, bangsa, dan negara. Yang patut diingat pula, studi di luar negeri membuat kita membuka peluang bagi teman-teman di Indonesia. Peluang seperti info beasiswa, pekerjaan, dan lainnya, akan membantu teman-teman sebangsa kita untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan diri. **SMPS
Harta Berharga Bernama Keluarga
Kita tentu ingat lirik laku berjudul Harta Berharga. Ini adalah lagu tema dari serial televisi Keluarga Cemara, yang populer di era 1990-an, yang kemudian dibuat versi layar lebarnya tahun 2018. Arswendo Atmowiloto adalah sosok yang merajut lirik lagu tersebut. Keluarga Cemara menceritakan nilai-nilai berharga yang didapatkan di dalam keluarga. Kehidupan keluarga yang sederhana tidak mengurangi nilai dan makna dari keluarga itu sendiri. Di dalam keluargalah kita belajar tentang mencintai, nilai-nilai hidup, karakter, saling peduli dan berkorban, berbakti, serta hal-hal baik lainnya. Di dalam keluarga juga kita merasakan kehangatan dan keberterimaan. Terkadang ketika kita berada di sekolah ataupun tempat kerja, kita mendapatkan banyak masalah dan tantangan. Namun, saat kembali ke rumah, kehadiran keluarga memberikan kita kehangatan dan kelegaan, dan kita pun siap untuk kembali menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan ini. Inilah idealnya keluarga, harta berharga yang sangat bernilai dan sulit untuk digantikan oleh harta semahal apapun. Sayangnya, tidak semua masyarakat Indonesia merasakan indahnya hidup berkeluarga. Banyak keluarga yang berantakan karena hubungan individu di dalamnya tidak harmonis. Suami-istri cekcok dan tidak saling percaya, orangtua dan anak tidak saling menyayangi. Orangtua disibukkan dengan pekerjaan. Anak lebih banyak bergaul di lingkungan luar dan terkadang justru belajar hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan buruk. Kemuktahiran teknologi yang seharusnya membawa manfaat justru membawa mudarat bagi keluarga. Orang tua dan anak sibuk dengan gadget masing-masing. Fasilitas internet juga memudahkan orang mengakses berbagai informasi, baik yang berguna maupun yang tidak berguna. Hoax atau fakta. Kehangatan yang seharusnya diberikan oleh keluarga kini justru lebih didapatkan dari luar. Pendidikan moral dan karakter sejak dini yang seharusnya diberikan oleh orang tua, justru lebih dipercayakan kepada pihak sekolah. Demikian pula ragam urusan dari agama hingga beragam ketrampilan. Keluarga seharusnya menjadi tempat perlindungan di saat hidup terasa berat. Keluarga juga harus menjadi tempat belajar pertama tentang apapun bagi anak. Di dalam keluarga, anak belajar mengenal kehidupan dan memahami tentang hal yang baik dan berguna. Keluarga yang baik akan memberikan manfaat positif bagi lingkungannya. Membangun Indonesia harus dimulai dengan membangun keluarga yang baik dan ideal. Masyarakat harus kembali diingatkan bahwa keluarga memiliki peran vital membentuk moral dan karakter masyarakat, terutama anak yang menjadi generasi penerus bangsa. Binalah keluarga, maka nasib suatu bangsa pun akan terbina. Mari kembali kepada keluarga, karena itulah harta yang paling berharga bagi kita. **SMPS
Ayahku Orang Batak
Ayahku adalah deskripsi holistik jati diri orang Batak. Cerita hidupnya meletup-letup tak terduga. Terlahir di pangkuan bundanya yang miskin, alam berkonspirasi untuk membesarkannya. Sedari kecil ia bersahabat dengan sawah, jalan berkilometer jauhnya demi pendidikan, singkong, ikan asin, keringat yang tumpah ruah. Pernah ia menjadi orang upahan di ladang orang-orang, sebelum akhirnya memutuskan untuk merantau dalam usia belia. Kerja keras membentuk dirinya secara mental dan fisik, dan pada akhirnya jagad raya berpihak pada kesuksesannya, ia berhasil menjadi seorang militer saat ia masih di tahun kedua Sekolah Guru Olahraga. Ditempatkan di berbagai tempat yang berbeda-beda, ia tak keberatan, namun ia tak ingin menetap di Siantar, kampung halamannya. Ia mengelana sejauh yang ia bisa, mengikuti ujung ibu jari kakinya. Dan pada akhirnya ia bertemu dengan wanita yang membuat hatinya kelu – ibuku, yang pada saat itu adalah seorang guru di Sumbul. Setelah beberapa kali berpindah-pindah, akhirnya mereka menetap di Sidikalang. Sebagai seorang militer, ayahku ikut berperang dalam operasi militer. Berapa kali persisnya, aku tak terlalu yakin. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Ke Timor Timur – sekarang Timor Leste – dan ke Aceh. Kupikir itulah alasan mengapa ayahku mengerti entah bahasa apa yang digunakan di Timor Timur. Pernah kupergoki ayahku menonton siaran televisi, jenis siaran yang pasti bakal dilewatkan orang-orang karena bahasanya yang aneh, dan entah bagaimana ia mengerti. Bahkan saat abangku lahir, ayahku ikut operasi militer. Pada waktu-waktu tertentu aku membayangkan bagaimana ayahku terlibat dalam berbagai baku tembak, dan selamat, begitu menakjubkan. Pada tengah malam, saat kami berdua tak dapat terlelap, ayahku akan mulai bercerita tentang dirinya, perjuangan-perjuangannya dalam hidupnya. Kerap kali ia membanggakan six pack yang dulu ada di perutnya. Sekali waktu, ia bercerita tentang betapa cantik kuda cokelatnya di Timor Timur. Lebih dramatis, ia juga pernah bercerita bahwa dulu malarianya pernah kambuh, ia ditandu oleh teman-temannya ke atas gunung. Ia juga pernah mengenangkan teman-temannya yang gugur, lalu, entah hanya khayalanku saja, matanya sedikit berkaca-kaca. Setelah mendengar kisah hidupnya, baik dari dirinya sendiri, ibuku, nenekku, maupun paman dan bibiku, tak sedikit pun kuragukan ayahku saat aku berusaha mendeskripsikan seorang pria Batak. Aku mendeskripsikan melalui dirinya. Segala pengorbanannya, penderitaannya, jerih payahnya, kesuksesannya, dan ucapan syukurnya atas semua itu, aku tak bisa membayangkan yang lebih baik lagi. Saat ini, seperti orang-orang Batak lainnya, ayah menghabiskan sebagian besar waktu untuk menjamin anak-anaknya terdidik dalam cara yang baik, berkembang di dalam Tuhan, dan menjadi orang-orang Batak sejati. Ayahku menoleransi kegagalan, namun tidak mengindahkan keputusasaan dan kata-kata menyerah. Segala hal tentang dirinya menakjubkanku, dan inilah caraku mendeskripsikan orang Batak yang pekerja keras. **JS
Pendidikan Kaum Tertindas
“Semua ide besar selalu berbahaya,” demikian ucapan klasik Oscar Wilde. Menyimak ucapan itu, ‘bahaya’ yang segera terbayang mungkin berupa bahaya akan munculnya suatu gerakan revolusioner karena ide besar tersebut. Tak sepenuhnya salah. Namun bahaya lain, yang juga sering membumbui ide besar, adalah bahaya dimana ide tersebut disalah-arti oleh orang-orang yang bersemangat akannya. Akhirnya yang terlihat hanyalah sebuah gerakan distortif atas nama ide tersebut, atau malah sekedar penghargaan dan kritik, tanpa pernah mewujudkannya. Gambaran itu nampaknya berlaku pula untuk ide tentang pendidikan yang membebaskan. Dunia akademis Barat di dasawarsa 1970 hingga 1980-an (dan Indonesia sejak akhir 1980-an) dijumpai oleh sebuah tambahan khasanah baru untuk teori pendidikan kritis. Pelopornya adalah seorang doktor filsafat pendidikan, yang sukses dengan metode pemberantasan buta huruf di kalangan petani Brasil pada era 1960-an (ironisnya, sang guru besar malah terdepak dari negerinya, karena metodenya dinilai subversif oleh rezim yang baru). Adalah buku “Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppressed)” yang dianggap sebagai magnum opus untuk tambahan khasanah teori pendidikan tadi. Lalu apa jadinya teori itu? Sang doktor sendiri, Paulo Freire, mencatat banyak respon yang muncul atas karya besarnya ini. Baik dari kalangan liberal, Kristiani maupun golongan sosialis. Kritik tentu saja ada, namun kebanyakan perespon sangat bersemangat akan ide besarnya. Walau demikian, tidak sedikit yang hanya memakai ide-ide Freire untuk membenarkan asumsi mereka tentang pendidikan dan pergerakan. Atau sekedar bertepuk tangan atas idealismenya. Bahkan di Brasil dan kebanyakan negara yang rezimnya otoriter-kapitalis (termasuk Indonesia sebelum reformasi), ide-ide Freire seringkali ditolak dan dilarang tanpa pernah dicoba-selami. Kesetujuan orang atas Freire terutama sekali menyangkut kritik Freire atas metode pendidikan penindas yang disebutnya sebagai model pendidikan ‘gaya bank’ (yang hanya menjejali naradidik dengan bahan hafalan, lihat Bab 2 buku ini). Demikian pula banyak sekali orang tertarik akan metode yang digunakan Freire sehingga bisa membuat para petani mau belajar dan bisa membaca dalam waktu singkat. Minat juga tumbuh untuk unggahan ide Freire soal model pendidikan ‘hadap masalah’ (lihat Bab 3) sebagai jawaban kritiknya atas pendidikan ‘gaya bank’ tadi. Namun jika hanya sampai di situ, boleh dikatakan orang telah gagal dalam membaca Pendidikan Kaum Tertindas ini. Freire mencontohkan bagaimana kegagalan membaca itu ia jumpai sendiri. Dalam bukunya yang lain (Pedagogi Pengharapan, yang terbit 25 tahun setelah buku ini), ia menceritakan empat orang pendidik berhaluan sosialis di Jerman Timur (pada awal 1970-an) begitu bersemangat akan ide dalam Pendidikan Kaum Tertindas. “Anda harus membicarakan ini kepada masyarakat borjuis, mereka begitu menjajah dalam mendidik,” demikian kata para pendidik tadi, “Tapi tidak di sini. Di sini kami tahu apa yang harus diketahui oleh para siswa.”[1]. Jelas sekali mereka gagal dalam membaca maksud Freire, karena mereka hanya mengekalkan penindasan, yaitu pendidikan ‘gaya bank’ dalam bentuknya yang lain. Lalu bagaimana ‘seharusnya’ buku ini dibaca? F. Danuwinata benar ketika berpendapat bahwa Pendidikan Kaum Tertindas memang sulit untuk dicerna, namun penyelaman yang mendalam atas ide-ide Freire di buku ini akan menghasilkan timbaan inspirasi yang sangat besar (lihat Prawacana). Kegagalan orang dalam membaca karya besar ini umumnya dikarenakan kegagalan dalam menghayati hakikat pendindasan, hakikat harapan, konsep dialog dan terutama konsep praksis yang diunggah Freire. Maka dari itu kaum yang bermental penindas, orang yang kritis-apatis, orang yang berhasrat mendominasi dan orang-orang yang tak mau menyeimbangkan antara aksi dan refleksi hampir selalu dipastikan gagal dalam membaca Pendidikan Kaum Tertindas. Tepat di situlah keunikan karya ini! Meski sudah cukup klasik (pertama kali terbit dalam edisi Bahasa Portugis, tahun 1970), pembahasan Freire soal bagaimana pendidikan yang membebaskan memang akan selalu bernas. Dalam empat bab bahasan selepas pendahuluan, penyelamannya tentang hakikat penindasan (Bab 1) dan model pendidikan yang menindas (Bab 2), lalu model dialog (Bab 3) versus model antidialog (Bab 4) adalah hasil kesatuan sinambung antara aksi Freire di dunia pendidikan dan refleksinya akan dunia. LP3ES selaku penerbit untuk edisi Bahasa Indonesia juga memperkaya buku ini dengan menyertakan uraian F.Danuwinata sebagai prawacana dan terjemahan pengantar edisi Bahasa Inggris dari Richard Shaull. Hal yang sangat membantu untuk menghantar pembaca yang baru mau berkenalan dengan ide-ide Freire. Kelemahan yang boleh dijadikan catatan mungkin adalah simpati Freire yang agak berlebihan terhadap tokoh-tokoh revolusioner kiri. Beberapa kali Freire memang mengutip dengan takzim Che, Mao dan Lenin, namun tanpa menyinggung sisi buruk pergerakan mereka. Hal yang tentu agak mengganggu bagi pembaca yang kurang simpatik pada gerakan sosialis. Tapi sedari awal Freire sudah mengajak agar semua kalangan yang menganggap dirinya progresif, mau bersabar untuk terlibat dalam penyelaman ide pendidikan yang membebaskan ini, kemudian mengkritisinya, lalu merumuskan hal yang hakiki dalam pendidikan yang membebaskan. Di sinilah teori pendidikan kritis, tidak berhenti jadi sebuah teori yang dikagumi atau dibenci, namun mewujud menjadi praksis pendidikan yang membebaskan. Judul Buku: Pendidikan Kaum Tertindas Penulis: Paulo Freire Penerjemah: Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan LP3ES Penyunting Terjemahan: Imam Ahmad Penerbit: LP3ES