Pieter Anton Roelfosen adalah satu dari sekian banyak warga Belanda yang menjadi tahanan perang di masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia dan sejumlah rekannya ditahan di penjara Cipinang, Jakarta, sejak tahun 1942.
Situasi pada masa itu jelas tidak mengenakkan buat mereka. Jepang yang sedang sibuk jelang akhir Perang Dunia II, hampir tidak menghiraukan nasib para tahanan. Kekurangan ransum makanan, menyebarnya penyakit, serta minimnya fasilitas kesehatan adalah kenyataan keseharian yang dihadapi tiap tahanan tadi.
Beruntung, Roelfosen memperoleh produk penyelamat. Ia berhasil meniru teknik fermentasi kedelai menjadi tempe dari penduduk pribumi. Dengan jumlah kedelai dan ragi seadanya, mereka bisa beroleh asupan gizi yang setidaknya memampukan diri bertahan hidup.
Saat kembali ke Belanda, Roelfosen kemudian mempublikasikan teknik tersebut dalam jurnal teknologi pangan pada tahun 1964. Inilah yang kemudian memperkenalkan tempe ke publik Belanda. Makanan ini kemudian populer di kalangan imigran asal Jawa, juga warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia.
Perlahan, tempe semakin populer di Eropa bahkan mencapai Britania Raya dan Amerika Serikat. Negara-negara Asia Timur, terutama Jepang pun mulai menggemari tempe, selepas 1980-an.
Meski kedelai bukan tanaman endemik Nusantara, namun teknik pengolahannya menjadi tempe boleh dikatakan teknologi asli bangsa ini.
Nenek moyang kita baru mengenal budidaya kedelai setelah diperkenalkan oleh pedagang India dan Tiongkok. Akan tetapi, di wilayah-wilayah asal kedelai ini tidak ada teknik fermentasi seperti pada tempe.
Tempe sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, dalam tatanan budaya makan masyarakat Suku Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam manuskrip Serat Centhini, misalnya, digambarkan masyarakat Jawa abad ke-16 telah mengenal tempe sebagai salah satu makanan yang biasa dikonsumsi.
Catatan sejarah lain menunjukkan kemungkinan, awalnya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.
Sampai saat ini kebanyakan tempe masih diolah dengan teknik tradisional Indonesia yang secara umum terdiri dari tahapan perebusan, pengupasan, perendaman dan pengasaman, pencucian, inokulasi dengan ragi, pembungkusan, dan fermentasi.
Modifikasi teknik baru dilakukan terkait higienitas pembungkus, juga proses pengasaman. Sebab di negara-negara sub-tropis umumnya kedelai yang direndam tidak langsung menjadi masam. Demikian pula perkembangan jamur raginya tidak semudah di wilayah tropis.
Yang jelas, tempe yang pernah menjadi penyelamat dari bahaya kelaparan itu, kini makin mendunia. **RS