“Ija Cimpa-na?”[1]
Pertanyaan seperti itu barangkali akan muncul, apabila di pertemuan masyarakat Karo, orang belum menikmati Cimpa. Penganan berbahan dasar ketan ini hampir dipastikan selalu ada dalam perpulungen (musyawarah, kebaktian lingkungan, pertemuan keluarga, dll), merdang merdem (kerja bakti tahunan), atau sejumlah pesta.
Biasanya Cimpa yang digunakan dalam forum-forum tadi adalah Cimpa Unung-unung. Kue ini terbuat dari tepung ketan merah yang diisi gula aren dan parutan kelapa. Adonan ini lalu dibungkus daun singkut kemudian dikukus. Cimpa unung-unung dibungkus dengan bentuk memanjang. Rasa manisnya terbilang pas di lidah, apalagi jika dimakan saat masih hangat.
Pada masa sekarang cimpa unung-unung juga sering dibungkus menggunakan daun pisang. Tapi penggantian ini menghasilkan sensasi aroma yang berbeda. Meski sama-sama harum, daun singkut memberi aroma khas yang lebih kentara. Ini yang akhirna membedakan rasa cimpa dengan kue ketan sejenis, semisal kue unit di Jawa atau lappet di Tanah Toba.
Cimpa juga ditemui dalam bentuk lain, yang pembuatannya tidak serumit cimpa unung-unung. Ada adonan cimpa yang langsung dicampur jadi satu, lalu digoreng dengan minyak atau lemak. Ini dikenal dengan nama Cimpa Tuang.
Ada pula adonan cimpa yang dicampur dan disajikan agak mentah/setengah matang dikenal dengan nama Cimpa Matah. Kedua versi cimpa ini biasanya dinikmati sehari-hari, agak jarang disajikan dalam forum resmi.
Bagi masyarakat Karo menikmati cimpa, terutama cimpa unung-unung, berarti menikmati momen kebersamaan. Disana ada pertemuan, gotong royong dan semangat saling membantu. Cinta dan kebersamaan yang mengalir, bukan sekedar didokumentasikan dengan foto, tapi dirasai bersama dalam manisnya cimpa.
Mungkin saja frasa ‘tak ada pertemuan tanpa cinta, kehangatan pembicaraan serta karya bersama” bisa disederhanakan dan dikonkritkan menjadi “tak ada pertemuan tanpa cimpa.”
[1] Dimana cimpanya? (Bahasa Karo)