No Viral, No Justice?

Ungkapan no viral, no justice sekarang sedang ngehits di kalangan netizen. Mengapa harus viral dulu baru ada keadilan?

Kebenaran dan keadilan memang akan selalu mencari jalannya. Bila cara yang biasa mengalami kebuntuan, maka kebenaran dan keadilan akan mencari jalan baru.

Kesewenang-wenangan
Kekuasaan seharusnya dipakai untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, kekuasaan justru kerap diselewengkan.

Kesewenang-wenangan sering dipraktikkan oleh mereka yang memegang kekuasaan. Hal ini dapat terjadi di lembaga pemerintahan, lembaga hukum, perguruan tinggi, hingga di organisasi keagamaan seperti gereja. Artinya, lembaga apa pun tidak imun dengan praktik kesewenang-wenangan.

Perilaku “seenak udelnya” bisa dilakukan oleh para petinggi di mana pun. Proses dan prosedur bisa dikangkangi. Tanpa bukti dan fakta, vonis dapat dijatuhkan. Atau, yang sudah ada barang buktinya, bisa lolos dari jerat hukuman.

Hukum bisa tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Orang-orang tertentu bisa kebal dari hukuman. Namun, orang lain bisa ditindak tanpa ampun. Hal ini yang kerap menimbulkan perasaan ketidakadilan.

Kalau pemegang kekuasaan, penegak hukum, sudah berlaku sewenang-wenang, menempatkan diri lebih tinggi dari aturan, lalu ke mana keadilan akan didapatkan?

No Viral, No Justice
Di era digital sekarang ini, netizen ternyata punya cara jitu. Kasus yang ditutupi, dibuka dan diviralkan. Kasus “Vina Cirebon” menjadi contoh gamblang, selain banyak contoh lain.

Saya pernah mengajak mahasiswa di kelas yang saya ampu di Universitas Kristen Maranatha untuk nonton bareng film “Vina Cirebon” di Bioskop. Tujuannya supaya kami eling dengan bahaya bullying atau perundungan, juga supaya kami belajar bersama bagaimana keadilan mencari jalannya di tengah kesewenang-wenangan.

Film tersebut ternyata juga menjadi alat penekan yang ampuh untuk aparat penegak hukum. Bagaimana pun, kebenaran harus dinyatakan, dan rasa keadilan harus diberikan kepada Vina Cirebon dan keluarganya. Setelah viral, mata publik lalu tertuju kepada kasus tersebut, dan aparat penegak hukum pun bertindak dengan serius menyelesaikan kasus yang bertahun-tahun ditutupi.

Jadi, memang betul kata netizen: No viral, no justice.

Pelajaran Berharga
Namun, apakah harus viral dulu, baru pemegang kekuasaan berpikir obyektif dan bertindak adil?

Seharusnya tidak! Kekuasaan itu amanah. Orang yang ada di kursi-kursi kekuasaan tidak boleh menempatkan diri di atas hukum, lalu bersikap “seenak udelnya.”

Dalam berbagai persoalan, aturan dan proses hukum harus ditempatkan sebagai dasar dan cara bertindak yang logis dan dipegang teguh. Kita tidak boleh asal potong jalan. Kita tidak bisa sewenang-wenang. Proses harus dilalui, walaupun tidak enak.

Saya ingat Jan Hendrik, seorang sosiolog yang peduli dengan pembangunan jemaat. Ia banyak meneliti organisasi. Ia katakan, mengambil keputusan itu bukan di tempat yang tinggi, tetapi di tempat di mana informasi tersedia dengan cukup, dan juga memperhatikan siapa user dari keputusan tersebut. Jadi, ada data, keterbukaan, dan partisipasi. Cara ini akan menghindarkan pemimpin dari kesewenang-wenangan.

Pemimpin yang baik dan efektif memang harus logis, dan juga punya kemampuan empatik. Ini dua hal yang tampak berlawanan, tetapi sebetulnya tidak. Keduanya saling terkait dan membutuhkan, dan justru akan membuat pemimpin berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Lebih dari itu, kita memang tidak hanya butuh hukum di atas kertas. Kesadaran hukum dan keberanian untuk menegakkannya adalah hal lain yang sangat dibutuhkan. Kalau ini dimiliki, rasa keadilan akan terjadi. Dan karena itu, tidak harus viral dulu baru ada keadilan.

Penulis: Pdt. Hariman A. Pattianakotta (Intelektual Kristen)

 

FOKAL

Writer & Blogger

Explore Topics

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2024 Gogoho Indonesia | Powered by Gogoho Indonesia