“Satu hal yang tidak tunduk oleh aturan mayoritas adalah nurani seseorang.” – Harper Lee, To Kill a Mockingbird
“Akan selalu kuingat, dan tak akan pernah kulupa, Senin: uangku diambil, Selasa: namaku diolok-olok, Rabu: seragamku dirobek-robek, Kamis: tubuhku bersimbah darah, Jumat: semua berakhir, Sabtu: kebebasan.” Akhir lembaran buku harian Vijay Singh, 13 tahun. Ia ditemukan menggantung diri pada pegangan tangga di rumah pada hari Minggu.
Membaca awal dari pengantar buku karya Barbara Coloroso ini, membuat saya bergidik dan miris. Membayangkan jika hal itu menimpa anak saya. Ini baru di awal kata pengantarnya. Berikut tiga kisah nyata dari sekian banyak peristiwa tercatat dalam Pengantar yang berakhir dengan tragis.
14 November 1997; Victoria, British Columbia: Reena Virk, 14 tahun, tewas setelah dijadikan bulan-bulannan oleh rekan-rekan sekolahnya. Ia diserang dan dipukuli hingga tak sadarkan diri. Tangan, leher, dan punggung Reena dipatahkan dengan sengaja sebelum akhirnya ia dibuang ke jurang.
November 2001; Tokyo, Jepang: Seorang siswa laki-laki SD menikam penyiksanya dalam sebuah upaya untuk mengakhiri ijime (penindasan). 7 Maret 2001; Williamsport, Pennsylvania: Elizabeth Bush, seorang siswa kelas 2 SMP yang berusia 14 tahun, membawa senjata ayahnya ke sekolah dan menembaki serta melukai seorang teman yang dituduh mengkhianati dan telah bergabung dengan para penyiksanya yang kerap memanggilnya idiot, bodoh, gemuk dan jelek.
Rentetan peristiwa di atas memang terjadi di luar negeri, namun coba kita simak beberapa peristiwa berikut ini. Pertengahan Agustus 2007; Pondok Labu, Jakarta Selatan: Muhammad Fadhil, 16 tahun, siswa SMA 34 ini jadi korban kekerasan oleh geng Gazper. April 2007; SMU Pangudi Luhur: Blastius Adisaputro, 17 tahun, babak belur karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh seniornya.
28 November 2006; Cijantung, Jakarta Timur: Bobi, 9 tahun, siswa SD Islam Sudirman ini mengalami luka-luka pada mulutnya akibat dilakban oleh gurunya hanya karena sering bercanda di kelas. 28 Juli 2004; Semarang: Muhlisin, seorang taruna semester III SMK Pelayaran, dipukuli oleh seniornya gara-gara tak melapor saat absen.
Februari 2008; Jakarta: Sri Pratiwi, siswi SMPN 282 Jakarta, digampar guru Bahasa Inggris karena dianggap tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Dan mungkin masih banyak segudang catatan kelam lainnya yang bisa kita telusuri menambah daftar di atas.
Faktanya, sekolah seakan bukan lagi hal yang menyenangkan. Dunia anak-anak seakan penuh ancaman dan tekanan. Bahkan menurut Coloroso, penindas, pihak yang tertindas dan penontonnya adalah tiga karakter dalam sebuah drama tragis yang dimainkan di rumah, sekolah, taman bermain, dan jalan-jalan.
Sebuah drama banyak versi dengan tema tragis yang itu-itu saja, dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda, mengenakan kostum yang berbeda-beda, menyitir baris kalimat yang berbeda-beda.
Barbara Coloroso, melalui bukunya “Stop Bullying!” yang diterjemahkan oleh penerbit Serambi, dengan gamblang memaparkan dari sisi psikologis dan praktis bagaimana kita (para guru dan orang tua khususnya), menyikapi anak-anak yang berperan sebagai penindas, tertindas dan penonton. Penulis, berdasarkan pengalamannya, memaparkan:
-
Tiga jenis penindasan
-
Perbedaan antara penindasan anak laki-laki dan anak perempuan
-
Empat kemampuan yang menghindarkan anak Anda dari status “korban penindasan”
-
Tujuh langkah solusi bila anak Anda seorang penindas
-
Cara membantu menyembuhkan anak tertindas dan mendisiplinkan anak penindas
-
Cara mengevaluasi “kebijakan-antipenindasan” sekolah dan kebijakan anti perilaku menyimpang lainnya