Lima puluh tahun yang lalu, Indonesia telah kehilangan salah satu anak bangsa terbaiknya di puncak tertinggi Pulau Jawa. Dia adalah akademisi, aktivis, humanis, dan pecinta alam yang berhasil menggagas perubahan sosial di tahun 1966 bersama kawan-kawan mahasiswanya yang lain. Dialah Soe Hok Gie, seorang pemuda yang tetap teguh pada perjuangan melawan ketidakadilan hingga akhir hayatnya.
Tulisan-tulisan Gie yang terlihat melawan Orde Baru menyebabkan namanya seakan hilang dari catatan sejarah. Baru muncul lagi di era 1980-an ketika LP3ES, menerbitkan catatan hariannya dengan judul Catatan Seorang Demonstran (CSD). Buku ini berisi pandangan dan dokumentasi kegiatan Gie mulai dari SMP hingga bermetamorfosis menjadi seorang aktivis mahasiswa.
Beberapa penerbit lain juga berupaya untuk mengingatkan lagi memori akan Soe Hok Gie melalui pembukuan hasil tulisannya. Mulai dari kumpulan artikelnya (Zaman Peralihan), skripsi sarjana muda (Di Bawah Lentera Merah), dan skripsi sarjana (Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan).
Ada juga John Maxwell, yang membahas dinamika perjalanan semasa Gie masih hidup, khususnya periode ketika dia menjadi aktivis. Buku itu berjudul Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Saat memperingati 40 tahun kematian Gie, ada referensi tambahan. Buku dengan judul Soe Hok-Gie… Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Karya ini digagas oleh beberapa teman Gie semasa berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI).
Buku ini berisi opini terhadap Soe Hok Gie dari berbagai pihak yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Buku ini memiliki sedikit perbedaan jika dibandingkan dengan buku-buku Gie sebelumnya. Jika buku-buku sebelumnya selalu berisi mengenai opini sang demonstran pada dunia dan lingkungan sekitarnya, buku ini justru berisi mengenai opini dari dunia dan lingkungan sekitarnya pada pribadi aktivis ini.
Hal itu pula yang membedakan buku ini dengan karya John Maxwell. Maxwell menulis Soe Hok Gie sebagai tokoh historis dan dianalisis secara akademis. Sementara, buku ini menceritakan sosok Soe Hok Gie sebagai seorang kawan, seorang guru dan dianalisis dengan lebih membumi karena didasarkan pada pengalaman pribadi.
Perbedaan-perbedaan inilah yang menjadikan buku Soe Hok-Gie…Sekali Lagi layak untuk dibaca dan melengkapi referensi atas sosok Gie.
Disamping itu, buku ini juga dapat mengubah stigma publik terhadap sosok yang telah dikultuskan sebagai aktivis, sehingga terkesan sangat jauh dan tidak terjangkau oleh pembaca.
Padahal, sesungguhnya sosok Soe Hok Gie tak berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, meski dirinya terkenal kritis dan tanpa tedeng aling-aling.
Namun sekaligus inilah yang membuat saya tidak menyarankan buku ini dibaca sebagai perkenalan menuju dunia Soe Hok Gie, khususnya bagi para pembaca yang belum pernah mengonsumsi Catatan Seorang Demonstran, atau buku-buku Gie lainnya.
Menurut pendapat saya, buku ini lebih bersifat komplementer terhadap buku-buku yang telah terbit sebelumnya.
Catatan Seorang Demonstran masih merupakan karya paling baik mengenalkan sosok Soe Hok Gie. Film Gie pun sudah cukup memberikan gambaran umum bagaimana dinamika kehidupan Soe Hok Gie semasa kecil hingga menjadi aktivis mahasiswa, meski banyak kekurangan disana-sini.
Meski demikian, buku ini layak dibaca dan dimiliki para pembaca yang mengidolakan Soe Hok Gie, ataupun bagi mereka yang ingin lebih mengenal sosok Soe Hok Gie. Tentunya dengan harapan agar Indonesia melahirkan lebih banyak pemuda yang memiliki integritas dan kegigihan seperti Soe Hok Gie. **PN
Penulis: Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R. (ed.)
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dengan Univ. Indonesia, ILUNI Univ. Indonesia, dan KOMPAS
Tebal: xxxix + 512 hlm