Ayahku adalah deskripsi holistik jati diri orang Batak. Cerita hidupnya meletup-letup tak terduga. Terlahir di pangkuan bundanya yang miskin, alam berkonspirasi untuk membesarkannya.
Sedari kecil ia bersahabat dengan sawah, jalan berkilometer jauhnya demi pendidikan, singkong, ikan asin, keringat yang tumpah ruah. Pernah ia menjadi orang upahan di ladang orang-orang, sebelum akhirnya memutuskan untuk merantau dalam usia belia.
Kerja keras membentuk dirinya secara mental dan fisik, dan pada akhirnya jagad raya berpihak pada kesuksesannya, ia berhasil menjadi seorang militer saat ia masih di tahun kedua Sekolah Guru Olahraga.
Ditempatkan di berbagai tempat yang berbeda-beda, ia tak keberatan, namun ia tak ingin menetap di Siantar, kampung halamannya. Ia mengelana sejauh yang ia bisa, mengikuti ujung ibu jari kakinya.
Dan pada akhirnya ia bertemu dengan wanita yang membuat hatinya kelu – ibuku, yang pada saat itu adalah seorang guru di Sumbul. Setelah beberapa kali berpindah-pindah, akhirnya mereka menetap di Sidikalang.
Sebagai seorang militer, ayahku ikut berperang dalam operasi militer. Berapa kali persisnya, aku tak terlalu yakin. Mungkin sekitar tiga atau empat kali. Ke Timor Timur – sekarang Timor Leste – dan ke Aceh. Kupikir itulah alasan mengapa ayahku mengerti entah bahasa apa yang digunakan di Timor Timur.
Pernah kupergoki ayahku menonton siaran televisi, jenis siaran yang pasti bakal dilewatkan orang-orang karena bahasanya yang aneh, dan entah bagaimana ia mengerti. Bahkan saat abangku lahir, ayahku ikut operasi militer. Pada waktu-waktu tertentu aku membayangkan bagaimana ayahku terlibat dalam berbagai baku tembak, dan selamat, begitu menakjubkan.
Pada tengah malam, saat kami berdua tak dapat terlelap, ayahku akan mulai bercerita tentang dirinya, perjuangan-perjuangannya dalam hidupnya. Kerap kali ia membanggakan six pack yang dulu ada di perutnya.
Sekali waktu, ia bercerita tentang betapa cantik kuda cokelatnya di Timor Timur. Lebih dramatis, ia juga pernah bercerita bahwa dulu malarianya pernah kambuh, ia ditandu oleh teman-temannya ke atas gunung. Ia juga pernah mengenangkan teman-temannya yang gugur, lalu, entah hanya khayalanku saja, matanya sedikit berkaca-kaca.
Setelah mendengar kisah hidupnya, baik dari dirinya sendiri, ibuku, nenekku, maupun paman dan bibiku, tak sedikit pun kuragukan ayahku saat aku berusaha mendeskripsikan seorang pria Batak. Aku mendeskripsikan melalui dirinya. Segala pengorbanannya, penderitaannya, jerih payahnya, kesuksesannya, dan ucapan syukurnya atas semua itu, aku tak bisa membayangkan yang lebih baik lagi.
Saat ini, seperti orang-orang Batak lainnya, ayah menghabiskan sebagian besar waktu untuk menjamin anak-anaknya terdidik dalam cara yang baik, berkembang di dalam Tuhan, dan menjadi orang-orang Batak sejati.
Ayahku menoleransi kegagalan, namun tidak mengindahkan keputusasaan dan kata-kata menyerah. Segala hal tentang dirinya menakjubkanku, dan inilah caraku mendeskripsikan orang Batak yang pekerja keras. **JS