Perdebatan kini sedang menggelinding. Bola licin persembahan Natal untuk membantu rakyat Palestina yang ditendang Maruarar Sirait selaku Ketua Panitia Natal Nasional ditanggapi beragam. Pro dan kontra pun terjadi.
Pertanyaannya, mengapa rencana pemberian persembahan Natal Nasional kepada rakyat Palestina menjadi perdebatan sepanas ini, seperti yang kita saksikan sekarang di media-media sosial?
Konflik Israel-Palestina dan Sensitivitas Kita
Konflik Israel-Palestina, tak bisa dipungkiri, telah ikut merambah ke dalam memori dan psikologi orang Indonesia. Naik turunnya eskalasi konflik di sana, ternyata ikut memengaruhi juga tensi kita di Indonesia. Bahkan, konflik di Timur Tengah itu telah ikut menciptakan segregasi di masyarakat Indonesia. Ada yang mendukung Israel, ada pula yang mendukung Palestina.
Ajaibnya, segregasi itu secara kasar menyeret masyarakat dari kelompok-kelompok agama yang berbeda di Indonesia. Padahal, konflik Israel-Palestina bukanlah perang agama. Namun, karena konflik Israel-Palestina ditafsir berdasarkan persepsi bahwa konflik itu adalah konflik agama, maka isu Israel-Palestina menjadi begitu sensitif untuk orang Indonesia.
Karena itu, ketika Maruarar Sirait menyampaikan rencana pemberian persembahan Natal Nasional untuk rakyat Palestina, maka hal tersebut langsung mendapatkan reaksi masyarakat. Ada yang mencibir, dan ada yang mengapresiasi.
Pro-Kontra
Yang mencibir bahkan menghujat Bang Ara, sapaan akrap Maruarar Sirait, sebagai Yudas. Maruarar dianggap “membeli” kepanitiaan Natal Nasional dan “menjualnya” untuk mendukung Palestina, sebagai bagian dari cara Maruarar menjilat Presiden Prabowo yang sedang getol mendukung Palestina-Israel sebagai dua negara yang sama-sama berdaulat.
Yang kontra juga berdalih kenapa harus jauh-jauh ke Palestina, rakyat Papua juga membutuhkan bantuan. Belakangan dengan kejadian banjir bandang di Sumatera Utara, maka muncul aspirasi supaya persembahan Natal Nasional diberikan saja kepada para korban bencana alam. Untuk apa persembahan Natal diberikan kepada rakyat Palestina yang nun jauh di sana, sedangkan di sini ada yang membutuhkan.
Dari pendapat yang kontra itu, kita dapat melihat berkelindannya sensitivitas isu pro kontra Israel-Palestina dengan politik ketidaksukaan terhadap Maruarar Sirait yang adalah Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, dan kebetulan sekarang menjadi ketua Panitia Natal Nasional.
Sebagai bagian dari rezim pemerintahan, wajar saja kalau Maruarar Sirait satu garis dengan Prabowo soal dukungan kemanusiaan bagi rakyat Palestina. Dan bagi yang pro ajakan Maruarar, mereka berpandangan bahwa persembahan bagi rakyat Palestina itu tidaklah salah. Malahan hal tersebut merepresentasikan kasih Kristus yang tak kenal batas. Tindakan solidaritas tersebut sama seperti kasih dari orang Samaria yang murah hati.
Orang Samaria memberikan cintanya tanpa mengenal sekat suku dan agama, orang luar atau orang dalam. Jadi, dalam konteks pemberian persembahan Natal, kenapa harus pula dibatasi ke dalam, kepada masyarakat Indonesia dulu, baru ke luar? Selama ini, tokh rakyat Papua, misalnya, juga mendapatkan perhatian dan kasih dari masyarakat dunia. Saat terjadi bencana seperti tsunami, warga internasional berbondong-bondong menyatakan belarasa dengan masyarakat kita di Indonesia, seperti di Aceh dan Nias.
Saat ini kita sudah hidup dalam semangat kosmopolitan di dunia yang mengglobal. Batas-batas tradisional dan nasionalisme yang sempit itu meluruh, dan kita dipersatukan dalam rasa perikemanusiaan sebagai warga dunia.
Jadi, tidak tepat, menurut yang pro, untuk berpikir ke dalam dulu baru ke luar. Bukan berarti kita kemudian melupakan Papua, atau melupakan masyarakat yang menderita karena banjir bandang di Sumatera Utara. Kalau ke luar saja kita bisa begitu bersemangat untuk memberi, maka ke dalam pun berbagi itu sudah sesuatu yang wajar dan harus.
Politisasi Bikin Menyala
Di Indonesia, bara kecil saja bisa membakar hutan yang lebat. Hembusan angin politisasi membuat isu kecil yang remeh temeh bisa menyala membakar dan mengalihkan perhatian kita dari persoalan-persoalan krusial di bangsa ini. Sebab, banyak hal didekati dan dilihat dengan kaca mata politisasi.
Mengapa bisa? Sebab ada banyak jerami kering yang siap di bakar di negara ini. Mulai dari kurangnya literasi, fundamentalisme dan radikalisme agama, sampai fakta kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang begitu telanjang di masyarakat Indonesia. Para bandit politik lalu memanfaatkan semua fakta ini untuk mencari posisi atas nama demokrasi, tetapi bukan untuk melayani. Lalu, kita pun terjebak dalam labirin politisasi yang miskin substansi.
Refleksi Natal
Jerami kering seperti yang disebutkan itu sebenarnya bukan barang baru. Yesus sendiri lahir dalam situasi jerami kering itu. Bahkan, karena masalah-masalah riil itulah Ia datang menjelmakan kehadiran Allah di dalam dunia.
Namun, yang membedakan adalah saat Yesus datang dahulu, tidak ada panitia. Bahkan, secara nasional, ada rencana elit dan istana untuk membunuh Dia.
Pengusaha pun tak ada yang mempersiapkan uang untuk berdonasi atau menyiapkan hotel mewah untuk menyambut kelahiran-Nya. Ia malah lahir di tempat yang teramat sederhana.
Bukan pejabat yang menyambutnya, tetapi rakyat biasa. Orang-orang yang terbuang. Mereka yang dicap kafir dengan profesi menjijikkan seperti gembala yang datang melihat-Nya.
Hal itu mengingatkan kita yang merayakan Natal Kristus di masa sekarang ini untuk menyatakan belarasa Allah dengan tulus, tanpa sekat, tanpa politisasi; dan kita diundang-Nya untuk mewujudkan kasih dan keadilan Allah bagi mereka yang marginal, orang-orang kecil yang menderita, baik yang ada di Papua maupun yang ada di Palestina. Undangan Allah ini ditujukan untuk rakyat jelata seperti Anda dan saya, maupun untuk pejabat yang tinggal di istana dan mereka yang punya kuasa.
Dan kalau hari ini ada Panitia Natal Nasional, kita syukuri saja, sebab ada orang istana yang mau ikut merayakan Natal. Sebagai bagian dari istana, tentu saja mereka akan merayakan Natal dengan “protokol” istana. Biarkan saja!
Akan tetapi, kita dapat menyampaikan harapan dan mengingatkan pemerintah dan gereja-gereja bahwa merayakan Natal itu tidak cukup dengan mengumpulkan persembahan untuk disumbangkan bagi rakyat Palestina yang memang menderita dan membutuhkan bantuan. Rantai penindasan dan penjajahan yang tidak manusiawi, yang menyebabkan rakyat kecil menderitalah yang harus diputuskan, karena itulah yang mau dilakukan Allah dalam peristiwa Natal.
Peristiwa Natal mengingatkan manusia bahwa Kristus datang untuk mendamaikan segala sesuatu dengan Allah. Oleh karena itu, merayakan Natal dan mengumpulkan persembahan bagi korban kejahatan perang di Palestina harus disertai dan dibarengi juga dengan komitmen untuk tidak mengorbankan rakyat dan alam Papua dalam arus pembangunan nasional di negara kita.
Lembaga agama (baca: gereja) dan pemerintah tidak bisa di saat yang bersamaan merayakan Natal dan terus membabat hutan sehingga terjadi longsor di berbagai daerah, seperti di Sumatera Utara.
Merayakan Natal tidak boleh dilakukan dengan menjarah emas dan nikel dengan merusak alam seperti yang terjadi di Morowali dan di daerah lain. Merayakan Natal harus dilakukan dengan kejujuran untuk memanusiakan manusia dan melestarikan alam sebagai panggilan pendamaian Allah di masa kini.
Jadi, kita tak perlu menghabiskan energi untuk berdebat soal persembahan Natal Nasional untuk rakyat Palestina atau dialihkan ke dalam negeri saja.
Mari kita doakan supaya makna Natal dan Perjuangan Pendamaian itu yang dihayati oleh Panitia Natal di semua gereja, juga panitia Natal Nasional. Dan kita terus ingatkan pemerintah supaya jujur dalam memanusiakan manusia Indonesia dan menjaga kelestarian alam demi masa depan negara dan bangsa ini. Jangan sampai keserakahan merusak semuanya!
Penulis: Pdt. DR. Hariman A. Pattianakotta (Pendeta GKP Sadang; Ketum PGIS Purwakarta)
