Membaca kisah Natsuko Higuchi, seorang perempuan hebat di tempat dan waktu yang jauh, membuat hati jadi hangat. Kisah perempuan yang dikenal dengan nama pena Ichiyo (harafiah: selembar daun) berlatar masa Restorasi Meiji. Masa pengembalian kekuasaan ke tangan Kaisar yang sebelumnya dipegang oleh Shogun dari dinasti Tokugawa.
Peristiwa peralihan itu terjadi di abad ke-19. Restorasi Meiji membuat Kaisar bergegas mengirimkan putra-putra terbaik bangsa ke luar negeri. Mereka belajar berbagai macam ilmu pengetahuan untuk memajukan Jepang yang baru. Ini berimbas pula pada teknik cetak yang berkembang sehingga banyak koran dan novel yang dibaca oleh rakyat. Masa ini disebut ‘Bunmei Kaika’ (Masa Pencerahan).
Tetapi masa yang katanya ‘cerah’ ternyata tak banyak berpengaruh bagi kehidupan perempuan. Di masa itu terkenal sekali motto ‘ryosai kenbo’ atau “istri yang baik dan ibu yang bijak”. Motto ini membuat perempuan harus memahami perannya sebagai ibu rumah tangga yang menggerakkan kehidupan keluarga.
Perempuan boleh bersekolah tetapi hanya agar mereka menjadi calon ibu yang cerdas yang dapat melahirkan dan mendidik anak-anak cerdas. Selain itu, mereka juga wajib menguasai ketrampilan mengurus rumah tangga sebagai bekal kelak berkeluarga. Apanya yang cerah ketika perempuan tak bisa memasuki bidang profesi laki-laki? Tak boleh memiliki properti dengan nama sendiri?
Itu adalah latar hidup Ichiyo. Namun, ada yang membedakannya dengan perempuan lain. Sejak Ichiyo kecil, ayahnya mengenalkan dunia ajaib. Dunia buku yang membawanya bebas berkelana di dunia kata dan imajinasi yang pada akhirnya mendorong dia untuk menulis.
Ichiyo tenggelam dalam buku-buku yang disodorkan ayahnya dan ia makin mahir mengintepretasi sajak. Hingga setiap sore ia membacakan sajak di perkumpulan sastrawan ketika ia masih berusia 11 tahun. Kecintaannya pada buku dan menulis membuat ia ingin sekolah setinggi mungkin dan menjadi penulis profesional.
Sementara itu, ibu Ichiyo adalah sisa pendidikan era Tokugawa yang memandang pekerjaan perempuan hanya di seputar sumur, dapur dan kasur. Ia tak senang suaminya mendidik Ichiyo menjadi gadis berkacamata tebal.
Ibu Ichiyo sudah mengatur agar anaknya hanya memiliki sedikit waktu untuk membaca dan lebih banyak mengerjakan pekerjaan domestik. ‘Kelas Feminin’ mengajar memasak, menjahit, dan merangkai bunga. Ichiyo lakukan semua itu dengan keseriusan total bukan karena ia suka tetapi karena ia perfeksionis.
Pada akhirnya Ichiyo berhasil masuk sekolah bergengsi yang memuaskan hasrat sastra dan menulisnya. Namun kisah hidup tak dapat diduga. Perlahan namun pasti kondisi keuangan keluarga Ichiyo merosot tajam semenjak kematian kakak lelakinya dan ayahnya. Tapi, Ichiyo tetap bertekad menjadi penulis.
Yang menarik, Ichiyo adalah perempuan berprinsip. Ia tak mau mengikuti selera pasar yang mendikte penulis agar menulis kisah yang dangkal dan vulgar. Ia bahkan tak mau menggunakan nama pena laki-laki agar karyanya diterima dan dibaca masyarakat.
Perlahan tapi pasti karyanya disukai dan disambut positif bahkan oleh Bungakkai, kelompok sastrawan yang kritis terhadap karya tulis. Menjelang akhir hidupnya, si selembar daun masuk dalam lingkaran sastrawan elit yang semua anggotanya adalah laki-laki. Satu-satunya penulis perempuan yang disegani dan membuat penulis laki-laki berguru padanya.
Membaca kisah Ichiyo, saya merasakan detak perjuangan perempuan. Mengamatinya yang gemulai namun tegas menari bersama nasib. Bagaimana mimpinya dibuahi dan diperjuangkan sepenuh hati. Membaca Ichiyo pun membuat saya merenung. Bagaimana dengan perempuan di Indonesia? Apa mimpi kalian? Bagaimana dengan pola asuh di keluarga, sekolah, agama serta masyarakat?
Maukah kita mendorong perempuan-perempuan Indonesia bermental baja, memiliki prinsip, berwawasan luas, dan tetap merawat kehidupan? Yang bukan hanya ayu kemayu tetapi cerdas menari bersama nasib! **YD