Organisasi nirlaba memiliki sejarah panjang sejak dulu, namun konsep modernnya dimulai pada abad ke-19 dengan munculnya organisasi amal dan upaya filantropis. Organisasi ini bekerja secara profesional untuk mencapai tujuan kepentingan publik dengan tidak mencari laba atau keuntungan moneter untuk pemilik organisasinya.
Contoh yang umum adalah organisasi keagamaan, institusi pendidikan, kesehatan, seni budaya, bantuan hukum, serikat pekerja, hingga urusan lingkungan.
Di Indonesia, organisasi nirlaba mulai bermunculan pada akhir tahun 1970-an, sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan bagi kelompok yang termarjinalkan. Sebutan non-governmental organization (NGO) mulai dikenal ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha membedakan antara badan-badan antar pemerintah dengan organisasi swasta yang mulai didirikan di berbagai negara, termasuk di Indonesia pasca Perang Dunia Kedua.
Namun, bagi Pemerintah Indonesia saat itu, istilah NGO berkonotasi negatif, yaitu seakan-akan melawan pemerintah (Saidi, 1995, pp. 9), sehingga disebutlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pertama kali yang memperkenalkan istilah LSM dalam konteks legal di Indonesia. LSM, dalam UU ini, didefinisikan sebagai organisasi yang tumbuh secara swadaya di tengah masyarakat dan berfokus pada kegiatan lingkungan hidup. Kemudian ada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), sebutan untuk LSM yang banyak bergerak di isu sosial.
Umumnya, LSM berlegalitas yayasan atau perkumpulan. Jika memilih bentuk yayasan, dapat mengacu pada UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang telah diperbarui menjadi UU Yayasan No. 28 Tahun 2004.
Sementara, jika tidak mengambil bentuk Ormas, dapat sebagai perkumpulan berbadan hukum (persona stand injuditio), dengan pengajuan Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) setelah pembuatan akta pendirian perkumpulan dengan Notaris. Berbeda dengan yayasan, yang merupakan organisasi non-anggota, perkumpulan didirikan atas dasar keanggotaan (Atlov et al., 2006).
Organisasi nirlaba, LSM, termasuk ormas di Indonesia berperan krusial dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Menurut data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, perekonomian Indonesia tumbuh 5,05% (yoy) pada tahun 2023. Organisasi yang termasuk ke dalam sektor Lembaga Non-Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) mencapai pertumbuhan tertingginya sebesar 18,11% (yoy) pada kuartal IV-2023, dan berkontribusi sebesar 1,36% terhadap perekonomian nasional.
Namun, kasus penyelewengan dana oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) pada 2022 menyoroti pentingnya etika dan tata kelola yang baik (good governance) untuk menjaga kepercayaan publik dan keberlanjutan organisasi. Bastian (2007) berpendapat bahwa good governance dalam artian umum adalah tata kelola pemerintahan yang baik, yang tidak terbatas hanya sektor pemerintahan saja, namun juga terkait dengan penyelenggaraan organisasi publik lainnya, termasuk di dalamnya LSM.
Kasus ACT: Menurunkan kepercayaan terhadap LSM
Aksi Cepat Tanggap (ACT), salah satu yayasan filantropi terbesar di Indonesia yang didirikan sejak 2005 dan dapat mengumpulkan dana 500 miliar rupiah per tahun, menghadapi skandal penyelewengan dana pada 2022.
ACT berawal dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan pasca bencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat, dan Wakaf. ACT bahkan menjadi organisasi yang menginspirasi pemerintah untuk membentuk BNPB atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kegiatan filantropi ACT tidak hanya di dalam negeri saja, bahkan sampai ke 22 negara.
Laporan investigasi Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022 mengungkap bahwa ACT memotong 23-30% dana donasi untuk operasional. Dana tersebut digunakan untuk gaji petingginya hingga 250 juta rupiah per bulan, pembelian mobil mewah, dan pembangunan rumah pribadi.
ACT juga menyelewengkan 34 miliar rupiah dana donasi dari Boeing untuk korban kecelakaan Lion Air JT-610. Dana tersebut dialihkan untuk koperasi syariah 212 sebesar 10 miliar rupiah, pembangunan pesantren 8,7 miliar rupiah, dan keperluan lain yang tidak sesuai peruntukan.
Pada Juli 2022, Kementerian Sosial mencabut izin operasional ACT. Bareskrim Polri menetapkan empat petingginya sebagai tersangka atas tuduhan penggelapan dan pencucian uang, dengan ancaman hukuman hingga 20 tahun penjara.
Kasus ACT menunjukkan bagaimana petinggi organisasi dapat menyalahgunakan dana untuk kepentingan pribadi, seperti gaji berlebihan atau pembelian aset mewah. Kurangnya pengawasan internal memperburuk masalah ini.
Sidik (2022) dalam artikelnya di DetikNews pada 1 Agustus 2022, menuliskan bahwa survei oleh Media Survei Nasional (Median) pada 2023 menunjukkan bahwa 44,7% masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap LSM pasca-kasus ACT. Hal ini berdampak pada sulitnya penggalangan dana dan keberlanjutan operasional berbagai LSM.
Regulasi dalam Tata Kelola Organisasi Nirlaba
LSM harus mematuhi regulasi-regulasi yang telah ada untuk mencegah penyalahgunaan. Dalam UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) sayangnya tidak mengatur secara eksplisit standar komisi atau akuntabilitas kepada donatur.
Hal ini menciptakan celah untuk penyalahgunaan dana, seperti dalam kasus ACT. Walaupun sudah ada standar akuntansi seperti PSAK 45 (Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba), yang saat ini telah digantikan oleh ISAK 35, namun bagaimana standar tersebut dilakukan banyak bergantung pada komitmen institusi yang bersangkutan.
Pedoman Umum Governansi Organisasi Nirlaba Indonesia (PUG-ONI) juga telah diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governansi (KNKG), organisasi nirlaba harus menyusun laporan tahunan yang mencakup kegiatan dan keuangan secara transparan. Struktur organisasi yang jelas, seperti yang memiliki dewan pengawas dan pengurus yang independen, meminimalkan konflik kepentingan. PUG-ONI merekomendasikan pemisahan tugas antara pembina, pengurus, dan pengawas untuk mendukung pengambilan keputusan yang objektif.
Etika dan Moral menjadi pondasi Good Governance
Penelitian yang dilakukan Dwi Sektiono dan Rini Nugraheni tahun 2016 menyatakan ACT sebenarnya telah mengimplementasikan good governance sesuai 14 prinsip yang dikembangkan Tim Pengembangan Kebijakan Tata Kepemerintahan yang Baik oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Empat belas prinsip tersebut meliputi visi, transparansi, partisipasi, akuntabilitas, supremasi hukum, demokrasi, profesionalisme, daya tanggap, efisien-efektif, desentralisasi, kemitraan, komitmen kesenjangan, komitmen lingkungan, dan komitmen keadilan pasar. Bahkan laporan keuangan lembaga tersebut sudah diaudit dan mendapat opini tertinggi yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Proses Audit dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Heliantono dan Rekan yang telah diketahui Kementerian Keuangan.
Kenyataan bahwa terjadi penyalahgunaan dana ACT oleh para pengelola, menunjukkan diperlukannya analisis lebih dalam dari sekadar prinsip tata kelola, yakni mengenai etika dan moral sebagai latar belakang dan pondasi implementasi tata kelola dalam organisasi, termasuk sebagai dasar pengambilan keputusan.
Domènec Melé (2019) dalam bukunya berjudul “Business Ethics in Action“, menuliskan bahwa pengambilan keputusan tidak hanya tentang rasionalitas instrumental (ekonomi). Dibutuhkan rasionalitas penuh, mencakup dimensi moral dan nilai-nilai, bukan hanya efisiensi atau tujuan jangka pendek. Sedangkan rasionalitas instrumental hanya berfokus pada cara tercepat atau termurah, bukan pada apa yang benar.
Kasus ACT menjadi pelajaran berharga, jika good governance tanpa etika dan moral, maka organisasi berisiko kehilangan integritasnya, terlebih sebagai organisasi nirlaba yang mengutamakan kepentingan publik.
Etika diperlukan sebagai panduan perilaku organisasi, misalnya laporan keuangan yang transparan mencerminkan etika kejujuran, sedangkan pengawasan independen menunjukkan komitmen terhadap keadilan.
Penggunaan dana donasi untuk gaji berlebihan atau aset pribadi, melanggar etika kejujuran dan tanggung jawab. Hal ini menunjukkan kegagalan menerapkan etika dalam tata kelola, yang seharusnya memastikan dana digunakan untuk tujuan kemanusiaan.
Penerapan prinsip etika keutamaan (virtue ethics) oleh pimpinan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dapat menjadi pondasi penting dalam mencegah pelanggaran dengan membangun karakter moral yang konsisten dan sistem organisasi berintegritas.
Pertama, pemimpin perlu menginternalisasi nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, dan keadilan sebagai bagian dari identitas diri. Menurut teori etika, karakter yang terbentuk melalui kebiasaan bertindak baik akan mendorong keputusan yang berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi.
Gaya hidup mewah petinggi LSM bertentangan dengan misi awal organisasi nirlaba yang mengutamakan kepentingan publik. Pemimpin LSM harus menunjukkan integritas dan kesederhanaan sebagai teladan.
Organisasi harus menciptakan budaya etis melalui kode etik yang jelas, pelatihan berkala, dan ruang diskusi terbuka. Implementasi nilai-nilai etika dalam organisasi tidak hanya meningkatkan kinerja tetapi juga kematangan moral kolektif.
Sistem akuntabilitas seperti audit internal dan pelaporan transparan kepada publik perlu diperkuat. Hal ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan yang menekankan keseimbangan antara kepentingan pemangku kepentingan dan nilai universal.
Terakhir, refleksi kritis terhadap praktik kerja secara berkala, misalnya melalui evaluasi partisipatif dengan donatur dan penerima bantuan, akan membantu ACT mengidentifikasi celah etis sebelum berkembang menjadi krisis.
Dengan menggabungkan pembentukan karakter individu, penguatan sistem, dan budaya organisasi yang responsif, diharapkan organisasi nirlaba dapat memulihkan kepercayaan masyarakat dan menjadi contoh lembaga filantropi yang beretika.
Moral pun perlu menjadi landasan nilai pemimpin dan organisasi. Pemimpin yang bermoral tinggi akan memprioritaskan kepentingan penerima manfaat dan donatur, bukan keuntungan pribadi.
Tata kelola yang baik memperkuat moral ini dengan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas. Gaya hidup mewah bertentangan dengan moral kesederhanaan dan pengabdian yang diharapkan dari pemimpin LSM. Ini menunjukkan bahwa kurangnya moral pribadi dapat melemahkan tata kelola organisasi.
Organisasi nirlaba mempunyai karakteristik tersendiri sehingga menjadikan tata kelola lebih khusus jika dibandingkan dengan korporasi dan koperasi. Etika dan moral seharusnya menjadi pilar utama tata kelola organisasi nirlaba.
Etika memberikan kerangka prinsip untuk akuntabilitas dan transparansi, sementara moral mencerminkan nilai-nilai pengabdian dan integritas pemimpin, bahkan di saat regulasi belum dapat memberikan arah atau keputusan yang spesifik.
Kasus ACT menunjukkan bahwa pelanggaran etika dan moral dapat menghancurkan kepercayaan publik dan keberlanjutan organisasi. Dengan memperkuat tata kelola yang berbasis etika dan moral, LSM di Indonesia diharapkan dapat memenuhi ekspektasi semua pemangku kepentingan, termasuk pendiri, manajemen, donatur, relawan, penerima manfaat, dan masyarakat umum, sehingga dapat menjalankan misi sosial-ekonomi-lingkungan dengan lebih efektif.
Penulis: Christian Natalie – Mahasiswa Magister Manajemen Konsentrasi ESG-Sustainability, Universitas Sanata Dharma.
Daftar Pustaka
Atlov, Hans., Rustam Ibrahim, dan Peter van Tuijl. (2006). NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country. https://www.researchgate.net/publication/237746635_NGO_GOVERNANCE_AND_ACCOUNTABILITY_IN_INDONESIA_CHALLENGES_IN_A_NEWLY_DEMOCRATIZING_COUNTRY.
Bastian, Indra. (2007). Akuntansi Yayasan dan Lembaga Publik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2024, March 26). Keberlangsungan Peran Organisasi Nirlaba bagi Pembangunan Indonesia Terjamin dengan Tata Kelola yang Baik. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/5692/keberlangsungan-peran-organisasi-nirlaba-bagi-pembangunan-indonesia-terjamin-dengan-tata-kelola-yang-baik.
Majalah Tempo. (2022, July 2). Kantong Bocor Dana Umat.
Melé, D. (2019). Business ethics in action: Managing human excellence in organizations. 2nd ed. London: Red Globe Press.
Saidi, Zaim. (1995). Secangkir Kopi Max Havelaar: LSM dan Kebangkitan Masyarakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sektiono, Dwi & Rini Nugraheni. (2016). Implementasi Good Governance pada Lembaga Swadaya Masyarakat (Studi Kasus pada Aksi Cepat Tanggap Cabang Semarang). Diponegoro Journal of Management, 6(1), 1-10.
Sidik, Farih M. (2022, Aug 1). Survei Median Pakai GForm: 44,7% Responden Tak Percaya Lembaga Serupa ACT. Detik News. https://news.detik.com/berita/d-6210306/survei-median-pakai-gform-44-7-responden-tak-percaya-lembaga-serupa-act
Wiryono, S. (2022, September 4). Presiden ACT: Laporan Keuangan ACT Sudah Diaudit dan Mendapat WTP. https://nasional.kompas.com/read/2022/07/04/20571251/presiden-act- laporan-keuangan-act-sudah-diaudit-dan-mendapat-wtp.