Menu makanan utama di Pulau Sumatera memang selalu kaya bumbu. Tidak terkecuali Cipera Manuk, sajian daging ayam khas Tanah Karo. Tapi tidak seperti rendang, gulai, lempah atau makanan pesta lainnya, Cipera adalah makanan rumahan. Biasa dinikmati dalam keluarga atau kelompok yang tidak terlalu besar. Hal itu justru yang membuatnya sering dirindukan oleh orang-orang yang merantau.
Cipera Manuk dibuat dari potongan daging ayam yang dimasak dengan tepung atau parutan jagung yang halus beserta sejumlah bumbu seperti: santan kelapa, bawang, kemiri, serai, cabai, andaliman dan terutama asam patikala (kecombrang). Parutan/tepung jagung inilah yang sebenarnya disebut ‘Cipera’. Ke dalam porsi ini juga ditambahkan jamur (biasanya jamur merang) yang menjadikan sensasi empuknya bisa dinikmati bergantian dengan daging.
Cita rasa Cipera Manuk biasanya sangat ditentukan oleh pilihan daging ayam dan kualitas jagung. Di Tanah Karo ayam kampung adalah pilihan yang sering diambil. Daging ayam kampung akan lebih lama menjadi lembut, jadi bumbu akan semakin meresap. Demikian pula terkait jagung yang diparut atau dijadikan tepung. Tepung dari jagung tua umumnya lebih banyak dipakai, meski parutan halus jagung muda juga punya cita rasa yang unik.
Kuah kental Cipera meninggalkan sensasi khas di lidah. Ada asam, segar, pedas, kelat, getar di mulut namun lembut. Ini yang membuatnya bisa dinikmati berbagai usia dan meninggalkan rasa yang mendalam, tapi tidak terlalu mengagetkan. Bagi lidah yang kurang terbiasa dengan makanan berbumbu, rasa Cipera masih bisa ditoleransi.
Tidak semengagetkan masakan Karo lain, katakanlah seperti Terites (olahan makanan di perut kerbau/sapi) atau porsi lengkap Tasak Telu (mengandung masakan ayam yang dibumbui marus, yang dalam tradisi awal selalu disajikan bersamaan dengan Cipera). Meski keduanya punya kelezatan tersendiri, orang umumnya perlu penyesuaian saat pertama kali menikmatinya.
Lebih dari sekedar rasa di lidah, Cipera selalu dilekatkan dengan suasana rumah. Dalam seporsi Cipera, tergambar kekhasan suasana rumah tangga Karo. Keseharian yang penuh rasa: bahagia-derita, ramah-marah, getir-manis, segar-sesal – namun diolah dalam proses.
Semuanya kemudian menampil dalam diri Manusia Karo yang lembut dan dewasa. Tapi tetaplah mereka perlu ditambahi unsur lain, yaitu persaudaran dan kekerabatan, itu yang membuat mereka semua bisa bergantian menanggung suka-duka.
Terlalu filosofiskah? Barangkali begitu. Yang jelas, Cipera memang akan selalu dirindukan justru karena kesederhanaan dan kesehariannya. Rasanya seakan memanggil pulang para petualang yang lelah. Beroleh kesegaran. Mendapatkan kembali ‘rumah’.